Degradasi Lingkungan Picu Banjir Bandang di Labuan Bajo: Akibat Kerusakan Hutan dan Infrastruktur

Degradasi Lingkungan Picu Banjir Bandang di Labuan Bajo: Akibat Kerusakan Hutan dan Infrastruktur

Kota Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, kembali dilanda banjir bandang pada awal tahun 2025. Kejadian ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan merupakan dampak kumulatif dari kerusakan lingkungan yang terjadi secara sistematis. Banjir yang terjadi bahkan hanya dalam durasi hujan satu hingga tiga jam telah merendam pusat kota hingga permukiman warga, menunjukkan tingginya kerentanan wilayah tersebut terhadap bencana hidrometeorologi.

Doni Parera, aktivis lingkungan lokal, menjelaskan bahwa banjir di Labuan Bajo merupakan cerminan nyata dari kerusakan lingkungan yang semakin parah. Ia menunjuk beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap bencana ini:

  • Degradasi Hutan: Penebangan hutan secara besar-besaran, khususnya di kawasan Bowo Sie, telah mengurangi kemampuan lahan untuk menyerap air hujan. Konversi hutan menjadi area komersial dan infrastruktur, yang kerap dibungkus dengan narasi konservasi, justru telah memperparah masalah. Hilangnya tutupan hutan mengakibatkan berkurangnya area resapan air dan kapasitas tanah untuk menahan aliran air.

  • Penimbunan Area Tangkapan Air: Sejumlah area yang sebelumnya berfungsi sebagai tangkapan air alami, seperti cekungan di sekitar bandara, rumah dinas bupati, dan fasilitas-fasilitas publik lainnya, telah ditimbun untuk pembangunan permukiman dan perkantoran. Akibatnya, mata air yang dulunya mengalir deras kini menghilang, meningkatkan volume limpasan air permukaan saat hujan.

  • Penyempitan Aliran Air: Pembangunan infrastruktur di dalam kota, khususnya saluran air, seringkali dilakukan tanpa memperhatikan kapasitas aliran air yang dibutuhkan. Contohnya adalah pembangunan saluran air di Lamtoro yang justru lebih sempit daripada sebelumnya, mengakibatkan aliran air menjadi terhambat dan meningkatkan risiko banjir.

Parera lebih lanjut menyoroti inkonsistensi upaya pelestarian lingkungan yang selama ini dilakukan. Penanaman pohon dan kegiatan pengumpulan sampah seringkali hanya bersifat seremonial dan kurang berkelanjutan, sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap pencegahan banjir. Upaya restorasi lingkungan dan perencanaan tata ruang yang terintegrasi menjadi krusial untuk mencegah bencana serupa di masa mendatang.

Kejadian banjir bandang di Labuan Bajo menjadi pengingat akan pentingnya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Perencanaan pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan dan perubahan iklim berpotensi menimbulkan kerugian yang besar, baik secara ekonomi maupun sosial. Pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan perlu bekerja sama untuk merumuskan solusi jangka panjang yang komprehensif, termasuk penegakan aturan lingkungan yang lebih ketat dan kampanye edukasi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.

Ia menambahkan bahwa solusi jangka panjang memerlukan perencanaan tata ruang yang terintegrasi dan berkelanjutan, yang memperhatikan aspek lingkungan dan mitigasi bencana. Hal ini mencakup revitalisasi hutan, rehabilitasi area tangkapan air, dan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan. Selain itu, edukasi dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan juga perlu ditingkatkan secara berkelanjutan.