Ancaman Defisit APBN 2025: Pelemahan Penerimaan Pajak, Pemangkasan Belanja, dan Lonjakan Utang Negara
Ancaman Defisit APBN 2025: Pelemahan Penerimaan Pajak, Pemangkasan Belanja, dan Lonjakan Utang Negara
Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 di awal tahun menunjukkan sinyal yang mengkhawatirkan, ditandai dengan penurunan drastis penerimaan pajak, pemangkasan belanja pemerintah, dan peningkatan signifikan utang negara. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi defisit APBN yang signifikan pada akhir tahun.
Penerimaan Pajak yang Menurun Drastis
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi APBN 2025 adalah merosotnya penerimaan pajak. Hingga akhir Februari 2025, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp 187,8 triliun, atau 8,60 persen dari target tahunan sebesar Rp 3.005,1 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan yang signifikan sebesar 30,19 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (Rp 269,02 triliun). Penurunan ini bukan sekadar fluktuasi musiman, melainkan mencerminkan pelemahan fundamental perekonomian. Meskipun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan beberapa alasan, seperti pengembalian lebih bayar PPh 21 dan kebijakan relaksasi pembayaran PPN DN, para ekonom menilai alasan tersebut tidak cukup untuk menjelaskan penurunan yang signifikan ini. Awalil Rizky dari Bright Institute misalnya, menyorot minimnya pengakuan pemerintah atas pelemahan ekonomi dan permasalahan dalam penerapan Coretax sebagai faktor penyebab penurunan penerimaan pajak. Kinerja penerimaan pajak tahun lalu yang hanya mencapai 96,7 persen dari target juga menunjukkan potensi shortfall yang lebih besar di tahun 2025.
Pemangkasan Belanja Pemerintah: Dampak terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Tidak hanya penerimaan negara yang mengalami penurunan, belanja negara pun mengalami pemangkasan yang signifikan. Realisasi belanja hingga Februari 2025 mencapai Rp 348,1 triliun, atau 9,6 persen dari pagu anggaran, turun 10,76 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Rp 470,3 triliun). Penurunan yang paling tajam terjadi pada belanja kementerian dan lembaga (K/L) yang anjlok hingga 45,5 persen. Media Askar dari Celios memperingatkan bahwa penurunan belanja pemerintah yang drastis ini dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Pemangkasan belanja berpotensi mengurangi perputaran uang di masyarakat, memperlambat konsumsi, dan meningkatkan angka pengangguran, khususnya di sektor konstruksi dan industri pendukung akibat terhentinya berbagai proyek infrastruktur. Kondisi ini menjadi ironi mengingat kebijakan pemangkasan anggaran di negara lain, seperti Argentina dan Vietnam, justru berhasil meningkatkan penerimaan pajak dan menarik investasi. Di Indonesia, pemangkasan anggaran justru berdampak ganda: penurunan penerimaan negara dan beban bagi masyarakat bawah.
Peningkatan Utang Negara yang Mengkhawatirkan
Penurunan penerimaan pajak dan pemangkasan belanja pemerintah turut mendorong peningkatan utang negara. Realisasi pembiayaan utang pada Februari 2025 mencapai Rp 224,3 triliun, atau 28,9 persen dari target tahunan Rp 775,9 triliun. Angka ini meningkat 43,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Bhima Yudhistira dari Celios memproyeksikan bahwa dengan laju peningkatan utang yang demikian, total utang pemerintah berpotensi menembus angka Rp 10.000 triliun pada akhir 2025. Peningkatan utang negara ini akan berdampak pada beban bunga utang yang membengkak, memicu efek crowding out di sektor keuangan, dan memaksa pemerintah melakukan efisiensi belanja yang lebih ekstrem di tahun mendatang. Hal ini juga berpotensi menurunkan rating surat utang pemerintah.
Kesimpulan
Kondisi APBN 2025 di awal tahun ini memprihatinkan. Penurunan tajam penerimaan pajak, pemangkasan belanja pemerintah, dan peningkatan utang negara menciptakan potensi defisit yang signifikan. Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi permasalahan ini dan mencegah dampak negatif yang lebih luas terhadap perekonomian nasional. Mitigasi risiko dan strategi jangka panjang untuk meningkatkan penerimaan negara serta efisiensi belanja menjadi sangat krusial.