Revisi UU TNI: Potensi Stagnasi Karir Perwira Akibat Peningkatan Usia Pensiun
Revisi UU TNI: Potensi Stagnasi Karir Perwira Akibat Peningkatan Usia Pensiun
Rencana revisi Undang-Undang TNI yang tengah dibahas, khususnya terkait penambahan usia pensiun, menuai sorotan dari berbagai pihak. Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) misalnya, mengungkapkan kekhawatiran akan potensi stagnasi karier perwira TNI jika revisi tersebut disahkan tanpa diiringi kebijakan pendukung yang komprehensif. Peningkatan usia pensiun, yang diusulkan hingga 60 tahun untuk perwira dan 58 tahun untuk bintara dan tamtama, berpotensi memperparah masalah bottleneck yang telah lama menghantui institusi tersebut.
Dwi Sasongko, Co-Founder ISDS, memaparkan data internal yang menunjukkan adanya ratusan perwira TNI yang saat ini berstatus nonjob. Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat jika revisi UU TNI disetujui tanpa adanya mekanisme promosi dan penempatan yang jelas. Berdasarkan catatan ISDS per akhir 2023, setidaknya terdapat 120 perwira tinggi dan 310 perwira menengah yang belum mendapatkan penugasan. Kondisi ini dikhawatirkan akan semakin memperburuk stagnasi karier dan menimbulkan demotivasi di kalangan perwira.
Lebih lanjut, Dwi menjelaskan bahwa pengalaman serupa telah terjadi setelah revisi UU TNI tahun 2004 yang juga meningkatkan usia pensiun. Dampaknya, beberapa tahun setelah revisi tersebut, terjadi penumpukan perwira tinggi dan menengah akibat perpanjangan masa dinas. Kondisi ini, menurut Dwi, menimbulkan pertanyaan akan arti sebuah pangkat jenderal jika tidak diiringi dengan jabatan yang sesuai. Oleh karena itu, ISDS merekomendasikan agar DPR dan pemerintah mempertimbangkan kembali penambahan usia pensiun bagi perwira tinggi.
Sebaliknya, ISDS menilai perlu adanya kajian lebih lanjut terhadap penambahan usia pensiun bagi bintara dan tamtama. Namun, yang terpenting adalah penyusunan sistem personalia TNI yang lebih komprehensif dan terukur. ISDS bahkan menyarankan agar RUU TNI justru difokuskan pada pengurangan usia pensiun, diimbangi dengan exit plan yang matang bagi prajurit dan perwira yang memasuki masa purnawirawan. Hal ini bertujuan untuk memastikan kesiapan mereka dalam menghadapi kehidupan pasca-pensiun dan membuka peluang bagi mereka untuk berkontribusi di sektor lain.
Sebagai contoh mekanisme exit plan, ISDS mengusulkan sistem pensiun dini bagi perwira yang tiga kali gagal mengikuti Sekolah Staf dan Komando (Sesko) dalam satu tahun, atau bagi perwira tinggi bintang satu dan dua yang tiga tahun berturut-turut tidak mendapatkan promosi jabatan. Revisi UU TNI juga akan mengatur penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan keahlian militer di sektor sipil. Namun, hal ini harus diimbangi dengan kebijakan yang memastikan tidak terjadi pengabaian tugas pokok TNI sebagai kekuatan pertahanan negara.
Kesimpulannya, revisi UU TNI terkait penambahan usia pensiun perlu dikaji secara komprehensif, melibatkan berbagai stakeholder dan mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap karir perwira dan struktur organisasi TNI. Langkah ini penting untuk menjaga profesionalitas dan efektivitas TNI dalam menjalankan tugasnya sebagai garda terdepan pertahanan negara. Keberhasilan revisi UU TNI tidak hanya terletak pada penambahan angka usia pensiun, tetapi juga pada kemampuannya dalam menciptakan sistem yang adil, efisien, dan memastikan regenerasi kepemimpinan yang sehat di tubuh TNI.