Ramadhan: Refleksi Spiritual dan Tanggung Jawab Ekologis di Tengah Bencana Iklim
Ramadhan: Refleksi Spiritual dan Tanggung Jawab Ekologis di Tengah Bencana Iklim
Banjir yang kembali melanda berbagai wilayah di Indonesia di awal Ramadhan ini menjadi pengingat nyata akan krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan. Dari Jabodetabek hingga Kalimantan, hujan deras mengakibatkan genangan, kerusakan infrastruktur, dan lumpuhanya aktivitas masyarakat. Kejadian ini, sayangnya, bukan fenomena baru; siklus tahunan yang menunjukkan kegagalan kita dalam pengelolaan lingkungan. Lebih dari sekadar bencana alam, banjir merupakan cerminan nyata dari kelalaian manusia dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Penyebabnya kompleks, melibatkan berbagai faktor antroposentris. Sistem drainase yang buruk akibat penumpukan sampah, konversi lahan hijau menjadi beton yang mengurangi daya serap air, serta penyempitan sungai akibat pembangunan infrastruktur yang tidak terencana, semuanya berkontribusi pada peningkatan kerentanan terhadap banjir. Alam beroperasi berdasarkan hukumnya sendiri; namun, intervensi manusia yang tidak bertanggung jawab telah mengganggu keseimbangan tersebut, mengakibatkan bencana yang semakin sering dan dahsyat.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan daripada banjir itu sendiri adalah sikap apatis dan pasrah yang muncul di tengah masyarakat. Sikap nihilisme iklim, yang ditandai dengan pernyataan-pernyataan seperti "Memang begini dari dulu," atau "Mau bagaimana lagi?", menunjukkan hilangnya rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap lingkungan. Sikap ini bertolak belakang dengan prinsip amanah dalam Islam, di mana manusia diamanahkan untuk menjadi khalifah di bumi, bertugas menjaga dan melestarikannya, bukan menghancurkannya.
Ramadhan, sebagai bulan suci penuh refleksi dan introspeksi, hadir sebagai momentum tepat untuk mengubah paradigma tersebut. Ajaran Islam menekankan pentingnya keseimbangan dan kesederhanaan dalam hidup. Bukan hanya menahan lapar dan dahaga secara fisik, tetapi juga menahan keserakahan dan mengendalikan keinginan konsumtif. Ayat Al-Quran yang melarang berlebih-lebihan (QS. Al-A'raf: 31) bukan hanya terkait konsumsi makanan, melainkan juga menyangkut seluruh aspek kehidupan, termasuk interaksi manusia dengan alam.
Rasulullah SAW sendiri telah memberikan teladan dalam menjaga lingkungan. Larangan pemborosan air, bahkan dalam berwudhu, serta anjuran menanam pohon, sekalipun kiamat akan datang, menunjukkan komitmen terhadap pelestarian alam. Konsep hifzhul bi'ah (pemeliharaan lingkungan) merupakan bagian integral dari maqashid syariah, tujuan utama syariat Islam. Oleh karena itu, menjaga alam bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban moral dan agama.
Gerakan kesadaran ekologis di kalangan komunitas Muslim semakin berkembang. Program penghijauan, pengelolaan sampah berbasis masyarakat, serta kampanye pengurangan plastik di masjid dan pesantren merupakan contoh nyata dari penerapan nilai-nilai Islam dalam upaya keberlanjutan. Hal ini membuktikan bahwa ajaran agama bukan hanya sebatas ibadah ritual, tetapi juga mencakup tanggung jawab sosial dan ekologis yang luas.
Krisis lingkungan saat ini merupakan konsekuensi dari pola hidup konsumtif dan eksploitatif yang tidak berkelanjutan. Eksploitasi sumber daya alam tanpa batas, serta pengabaian keseimbangan ekosistem telah mempercepat degradasi lingkungan. Ramadhan seharusnya menjadi momen untuk merenungkan sejauh mana gaya hidup kita selaras dengan ajaran Islam dan prinsip keberlanjutan.
Mengurangi sampah plastik, bijak dalam konsumsi, dan hemat energi bukan sekadar gaya hidup modern, melainkan bagian dari ibadah. Setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampak. Ayat Al-Quran (QS. Ar-Rum: 41) yang menyebutkan kerusakan di darat dan laut sebagai akibat perbuatan manusia bukanlah ancaman, melainkan peringatan keras untuk perubahan. Sejarah peradaban Islam juga menunjukkan bagaimana para ulama dan pemimpin Muslim terdahulu memperhatikan konservasi lingkungan sebagai bagian dari kebijakan publik.
Di era modern dengan kemajuan teknologi yang pesat, kita memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menyeimbangkan kemajuan dengan keberlanjutan. Ramadhan, dengan ajaran kesederhanaannya, mengajak kita untuk hidup lebih selaras dengan alam. Pertanyaannya kini, bukan hanya apakah kita bisa berubah, tetapi apakah kita mau berubah? Karena pada akhirnya, menjaga bumi bukan sekadar menyelamatkan lingkungan, melainkan juga menyelamatkan diri kita sendiri.
Eko Ernada Anggota Badan Pengembangan Jaringan Internasional (BPJI-PBNU) Ketua Regional Centre of Expertise East Kalimantan, Jaringan Internasional ESD-UNU Japan.