Tensi Politik Memanas: Perseteruan PDIP dan Jokowi Pasca Penetapan Tersangka Hasto Kristiyanto
Tensi Politik Memanas: Perseteruan PDIP dan Jokowi Pasca Penetapan Tersangka Hasto Kristiyanto
Perseteruan politik antara PDI Perjuangan (PDIP) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kian memanas pasca penetapan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, menilai ketegangan ini merupakan kelanjutan dinamika politik pasca Pemilu 2024, yang kian intensif setelah penetapan status tersangka Hasto. Adi menyatakan, narasi yang beredar mengenai dugaan permintaan Jokowi agar Hasto tidak dipecat, kemudian dibantah oleh Jokowi dengan reaksi yang tegas, semakin memperlihatkan retaknya hubungan politik keduanya.
"Pernyataan-pernyataan yang saling bertolak belakang ini menunjukkan bahwa perseteruan politik antara PDIP dan Jokowi bukan sekadar gesekan biasa, namun telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Penetapan Hasto sebagai tersangka menjadi pemicu utama peningkatan tensi ini," ujar Adi dalam keterangannya pada Minggu, 16 Maret 2025. Adi menekankan bahwa hubungan yang telah terjalin selama 23 tahun antara PDIP dan Jokowi seharusnya memungkinkan pemahaman yang lebih baik satu sama lain. Namun, kondisi saat ini menunjukkan adanya kesenjangan komunikasi dan saling curiga yang signifikan.
Publik, menurut Adi, hanya menerima informasi sepotong-sepotong, sehingga sulit untuk menentukan pihak yang benar. Pendukung PDIP cenderung mempercayai klaim adanya utusan Jokowi yang meminta agar Hasto tidak dipecat, sementara pendukung Jokowi menganggapnya sebagai fitnah. Kondisi ini, lanjutnya, menyebabkan realitas politik saat ini sangat subjektif dan bergantung pada preferensi politik masing-masing individu. Adi menambahkan bahwa memprediksi kebenaran klaim dari masing-masing pihak menjadi sangat sulit mengingat minimnya transparansi dan keterbukaan informasi.
"Hubungan politik antara PDIP dan Jokowi telah memasuki fase yang kompleks. Setelah Jokowi dianggap telah mengkhianati PDIP, setiap pernyataan Jokowi dinilai negatif oleh PDIP, dan begitu pula sebaliknya. Perbedaan persepsi dan narasi yang berseberangan semakin memperuncing konflik ini," jelas Adi. Ia mencontohkan narasi PDIP yang menilai Jokowi sebagai sosok yang tidak konsisten, seringkali berbeda antara ucapan dan tindakannya.
Sementara itu, politikus PDIP, Guntur Romli, menilai pernyataan Jokowi yang mengaku diam menghadapi kritikan sebagai pernyataan yang kontradiktif. Guntur mempertanyakan bagaimana Jokowi bisa disebut diam sementara ia seringkali memberikan pernyataan kepada media. Guntur juga menyoroti sejumlah pernyataan Jokowi yang dinilai melenceng dari kenyataan, seperti rencana Jokowi untuk kembali ke Solo dan menjadi rakyat biasa yang ternyata tidak terjadi. Guntur bahkan menyamakan pernyataan Jokowi dengan ‘sein kiri tapi belok kanan’, menunjukkan ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan.
Guntur juga menegaskan bahwa penahanan Hasto Kristiyanto oleh KPK terkait dengan pemecatan Jokowi beserta keluarganya dari PDIP. Ia enggan berkomentar lebih lanjut mengenai dugaan utusan Jokowi yang meminta agar Hasto tidak dipecat, namun menekankan bahwa informasi yang mereka terima mengenai penahanan Hasto sebelum Kongres terbukti benar. Terkait hal ini, Wakil Ketua Relawan Pro-Jokowi (Projo), Freddy Damanik, menyatakan bahwa kesabaran setiap orang memiliki batasnya. Freddy mengingatkan bahwa jika PDIP terus menyerang Jokowi, bukan tidak mungkin Jokowi akan membalas, serta meminta PDIP untuk move on dari perseteruan ini.
Perseteruan ini menunjukkan keretakan yang signifikan dalam koalisi politik yang dulunya solid. Bagaimana dampaknya terhadap dinamika politik ke depan, termasuk potensi implikasi pada pemilihan umum mendatang, masih menjadi pertanyaan besar yang patut untuk dikaji lebih lanjut. Ketiadaan transparansi dan komunikasi yang efektif antara kedua pihak hanya akan memperkeruh suasana dan mempersulit upaya rekonsiliasi.