Mahkamah Konstitusi Digugat: Pasal-Pasal Kontroversial UU TNI Dipertanyakan

Mahkamah Konstitusi Digugat: Pasal-Pasal Kontroversial UU TNI Dipertanyakan

Sebuah gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini diajukan oleh Profesor Mhd. Halkis, Guru Besar Filsafat Universitas Pertahanan RI, yang juga seorang perwira aktif. Gugatan bernomor 38/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025 ini dilayangkan di tengah proses revisi UU TNI yang tengah berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Halkis berpendapat bahwa beberapa pasal dalam UU TNI bertentangan dengan konstitusi dan secara tidak adil membatasi hak-hak dasar prajurit sebagai warga negara.

Halkis secara khusus mempersoalkan definisi “tentara profesional” dalam Pasal 2 huruf d UU TNI. Pasal tersebut mendefinisikan tentara profesional dengan pendekatan negatif, dengan menyebutkan apa yang tidak boleh dilakukan oleh prajurit, seperti berpolitik praktis dan berbisnis. Menurut Halkis, definisi tersebut kurang tepat dan menimbulkan ambiguitas dalam memahami profesionalisme militer. Ia berpendapat bahwa definisi tersebut harusnya menekankan aspek-aspek positif, seperti netralitas dalam menjalankan tugas negara, kompetensi, serta hak-hak ekonomi dan kesempatan berkarir di sektor publik. Ia menyarankan agar definisi tentara profesional lebih menekankan pada komitmen terhadap tugas negara, kompetensi yang terukur, dan jaminan kesejahteraan yang layak bagi prajurit, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan kesalahpahaman.

Revisi UU TNI dan Ekspansi Peran TNI:

Argumen Halkis sejalan dengan beberapa poin yang tengah dibahas dalam revisi UU TNI. Salah satu poin penting dalam revisi adalah perluasan kesempatan bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan publik atau sipil. Saat ini, UU TNI mengizinkan prajurit aktif untuk menduduki 10 jabatan di kementerian/lembaga tertentu. Namun, revisi tersebut diusulkan untuk menambah jumlah jabatan tersebut menjadi 16. Penambahan ini, menurut anggota Panja RUU TNI, Tb Hasanuddin, didorong oleh meningkatnya kebutuhan akan peran TNI dalam pengelolaan wilayah perbatasan yang rawan.

Selain itu, revisi UU TNI juga berpotensi menambah jumlah tugas operasi militer selain perang (OMSP) yang dapat dilakukan oleh TNI. Jika UU TNI yang lama hanya memuat 14 tugas OMSP, revisi ini diusulkan untuk menambah tiga tugas baru, yakni di bidang siber, narkotika, dan satu tugas lainnya yang belum diumumkan secara detail. Daftar tugas OMSP yang lama meliputi penanganan gerakan separatis, terorisme, dan insurgensi, mengamankan wilayah perbatasan dan objek vital nasional, partisipasi dalam misi perdamaian internasional, pengamanan pejabat negara, bantuan dalam penanggulangan bencana alam, dan lain sebagainya.

Kontroversi Bisnis Prajurit:

Kontroversi lain yang muncul dalam revisi UU TNI adalah usulan untuk melonggarkan aturan yang melarang prajurit terlibat dalam kegiatan bisnis. Usulan ini pernah disampaikan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro pada tahun 2024. Buntoro berargumen bahwa larangan tersebut terlalu ketat dan dapat menyulitkan prajurit dalam membantu usaha keluarga, bahkan dalam skala kecil seperti membuka warung. Ia mengusulkan agar larangan bisnis dialamatkan kepada institusi TNI, bukan kepada prajurit TNI secara individu.

Gugatan Halkis ke MK menjadi sorotan penting di tengah dinamika revisi UU TNI. Proses hukum ini berpotensi mempengaruhi arah revisi UU TNI dan membentuk pemahaman yang lebih komprehensif mengenai definisi profesionalisme militer dan hak-hak prajurit dalam konteks hukum dan konstitusi Indonesia. Hasil putusan MK nantinya akan menjadi acuan penting dalam penyempurnaan regulasi yang mengatur Tentara Nasional Indonesia.