Grebeg Jemunak: Tradisi Ramahan Magelang Lestarikan Kuliner Lokal dan Sejarah Perlawanan
Grebeg Jemunak: Tradisi Ramahan Magelang Lestarikan Kuliner Lokal dan Sejarah Perlawanan
Di Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, sebuah tradisi unik dan bersejarah digelar setiap Ramadan: Grebeg Jemunak. Acara tahunan ini bukan sekadar perayaan kuliner, tetapi juga refleksi atas sejarah dan kearifan lokal masyarakat setempat. Puncak acara yang jatuh pada Minggu, 16 Maret 2025, menyajikan pemandangan meriah berupa arak-arakan gunungan jemunak setinggi 1,5 meter berisi 2.000 kemasan penganan khas ini. Ratusan warga antusias menyaksikan dan turut serta dalam perebutan jemunak, menciptakan atmosfer perayaan yang semarak dan penuh kebersamaan. Selain gunungan jemunak, tahun ini tambahan gunungan sayur-mayur menambah semarak perayaan tersebut.
Hernadi Sasmoyo Aji, Ketua panitia Grebeg Jemunak, menjelaskan bahwa tradisi ini bertujuan untuk mempromosikan jemunak sebagai kuliner khas Gunungpring. Jemunak, yang terbuat dari singkong, beras ketan, kelapa parut, dan gula merah cair (juruh), merupakan warisan kuliner yang telah diwariskan secara turun-temurun. Para pembuat jemunak, seperti Kasmirah (56) dan Ponisih (59), merupakan generasi keempat yang melanjutkan tradisi keluarga yang telah berlangsung sejak tahun 1970-an. Mereka berdua, dengan dibantu keponakannya Heru, mengolah 20-25 kg singkong setiap harinya untuk menghasilkan hingga 500 bungkus jemunak yang dipasarkan hingga ke luar daerah Magelang, bahkan hingga Kalimantan. Proses pembuatan jemunak sendiri cukup rumit, dimulai dari pengupasan dan pengparutan singkong, pengukusan beras ketan, penumbukan kedua bahan hingga pengukusan dan pembungkusan dengan daun pisang. Teknik penumbukan yang tepat, seperti yang dijelaskan Heru, sangat penting untuk menghasilkan tekstur jemunak yang pas.
Lebih dari sekadar kudapan lezat, jemunak menyimpan makna historis yang dalam. Menurut Bagus Priyana, pegiat sejarah dan Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang, jemunak merupakan varian dari getuk, yang disebut “jumunak” dalam Serat Centhini. Ia menjelaskan bahwa singkong, bahan dasar jemunak, pernah menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap dominasi budaya Eropa. Pada masa penjajahan Belanda, singkong dan olahannya seperti jemunak, getuk, dan lain-lain, menjadi alternatif pangan rakyat yang melawan hegemoni roti yang dibawa masuk oleh penjajah untuk kalangan keraton. Singkong dan olahannya menjadi representasi dari ketahanan pangan dan budaya lokal.
Namun, kelangsungan tradisi ini menghadapi tantangan. Meski Ponisih dan Kasmirah tetap bertekad melanjutkan tradisi keluarga, mereka belum memiliki penerus yang jelas. Anak Ponisih yang berprofesi sebagai perawat memiliki kemungkinan kecil untuk melanjutkan usaha pembuatan jemunak. Oleh karena itu, keberadaan Grebeg Jemunak diharapkan mampu tidak hanya melestarikan kuliner khas Magelang, tetapi juga menginspirasi generasi muda untuk menjaga warisan budaya leluhur ini. Warisan ini tidak hanya berupa resep dan teknik pembuatan, tetapi juga nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya. Grebeg Jemunak menjadi bukti nyata bagaimana tradisi lokal dapat beradaptasi dan bertahan di tengah perkembangan zaman, seraya menjaga akar budaya yang berharga.
Proses Pembuatan Jemunak:
- Singkong dikupas dan diparut.
- Beras ketan dikukus hingga setengah matang.
- Kedua bahan tersebut ditumbuk dan dikukus kembali.
- Adonan dikukus lagi, lalu dibungkus dengan daun pisang.
- Juruh (gula merah cair) dibuat terpisah dan dituangkan saat penyajian.