Praktik Korupsi di Pertamina: Modus Operandi Lama, Pelaku Baru, dan Kerugian Negara Triliunan Rupiah

Praktik Korupsi di Pertamina: Modus Operandi Lama, Pelaku Baru, dan Kerugian Negara Triliunan Rupiah

Kasus korupsi di PT Pertamina (Persero) yang baru-baru ini terungkap kembali menyoroti praktik korupsi yang telah berlangsung lama di perusahaan energi nasional tersebut. Meskipun melibatkan aktor baru, modus operandi yang digunakan masih serupa dengan kasus-kasus sebelumnya, mengakibatkan kerugian negara yang mencapai angka fantastis. Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, dalam wawancara di program Gaspol, Kompas.com, mengungkapkan analisisnya terkait skandal ini. Ia menuturkan bahwa praktik korupsi di Pertamina bukan sekadar ulah individu, melainkan juga merupakan sistemik dan dipengaruhi beberapa faktor kunci.

Sudirman Said mengidentifikasi tiga faktor utama yang memungkinkan terjadinya korupsi di Pertamina. Pertama, posisi Pertamina sebagai pemegang pasar utama di Indonesia membuatnya rentan terhadap praktik-praktik koruptif. Ukuran pasar yang besar dan dominannya posisi Pertamina menciptakan celah yang mudah dimanfaatkan. Kedua, volume transaksi yang sangat besar dalam operasional Pertamina menghasilkan margin keuntungan yang signifikan. Margin yang besar ini, menurut Sudirman, menjadi potensial untuk penyimpangan dana. Ia menekankan bahwa margin tersebut dapat dialokasikan untuk berbagai kepentingan, termasuk bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan di internal perusahaan. Meskipun ia menegaskan bahwa ini merupakan analisis, bukan tuduhan, besarnya potensi kerugian yang memungkinkan menjadi perhatian utama.

Ketiga, dan mungkin yang terpenting, adalah peran pemerintah dan sikap para pemegang otoritas dalam pengawasan Pertamina. Sudirman Said menyoroti pentingnya menyelidiki peran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri ESDM dalam pengawasan dan pencegahan korupsi di Pertamina. Ia berpendapat bahwa kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun yang telah diungkap Kejaksaan Agung tidak mungkin terjadi tanpa adanya keterlibatan atau kelalaian dari pihak-pihak terkait di pemerintahan. Ketiadaan pengawasan yang efektif menciptakan lingkungan yang subur bagi berkembangnya praktik korupsi.

Kejaksaan Agung telah menetapkan beberapa petinggi Pertamina sebagai tersangka dalam kasus ini. Di antara mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, dan Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin. Mereka diduga terlibat dalam praktik manipulasi pembelian Pertalite yang kemudian dicampur (di-blend) untuk dijual sebagai Pertamax. Modus operandi ini melibatkan pembelian bahan baku Ron 90 (Pertalite) atau bahkan lebih rendah, namun dilaporkan sebagai pembelian Ron 92 (Pertamax). Perbedaan kualitas ini menghasilkan keuntungan besar bagi para pelaku korupsi. Kejadian ini merupakan bukti konkrit betapa sistemik dan terorganisirnya praktik korupsi tersebut. Proses blending di depo penyimpanan kemudian menyamarkan manipulasi tersebut hingga akhirnya menghasilkan kerugian negara yang sangat besar. Kasus ini menuntut peningkatan pengawasan dan akuntabilitas yang lebih ketat dalam pengelolaan BUMN, khususnya yang melibatkan sektor sumber daya alam yang strategis.

Kesimpulannya, kasus korupsi di Pertamina ini merupakan cerminan dari masalah yang kompleks dan sistemik. Bukan hanya soal individu yang terlibat, tetapi juga kelemahan sistem pengawasan dan tata kelola perusahaan yang perlu segera diperbaiki. Penegakan hukum yang tegas dan reformasi tata kelola yang komprehensif menjadi kunci untuk mencegah terulangnya praktik korupsi serupa di masa depan, menghindarkan negara dari kerugian ekonomi yang besar dan menjamin pengelolaan sumber daya alam yang transparan dan akuntabel.