YLBHI Kritik Kriminalisasi Aktivis Penentang Revisi UU TNI: Protes Damai Dianggap Gangguan Ketertiban

YLBHI Kritik Kriminalisasi Aktivis Penentang Revisi UU TNI: Protes Damai Dianggap Gangguan Ketertiban

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam keras laporan polisi terkait aksi protes sejumlah aktivis masyarakat sipil di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 15 Maret 2025. Aksi tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap pembahasan revisi Undang-Undang (UU) TNI yang dianggap tertutup dan berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menilai laporan polisi tersebut sebagai upaya kriminalisasi dan pembungkaman suara kritis masyarakat.

Isnur menegaskan bahwa aksi protes yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil merupakan bentuk penyampaian pendapat yang dilindungi konstitusi. Alih-alih direspon dengan dialog, kelompok aktivis justru dilaporkan ke pihak kepolisian atas dugaan gangguan ketertiban umum. “Laporan ini keliru dan seharusnya tidak diproses kepolisian,” tegas Isnur. Ia menekankan bahwa DPR RI, yang membahas revisi UU TNI secara tertutup dan tanpa partisipasi publik yang memadai, justru yang seharusnya dipertanyakan. Alih-alih memproses laporan terhadap para aktivis, pihak berwenang semestinya menyelidiki dugaan pelanggaran prosedur dan transparansi dalam proses legislasi tersebut. Tindakan represif terhadap kritik publik, menurut Isnur, justru merugikan upaya penegakan demokrasi dan keadilan.

Sementara itu, pihak kepolisian Polda Metro Jaya telah menerima laporan dari pihak keamanan Hotel Fairmont dengan nomor LP/B/1876/III/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA. Laporan tersebut menyebutkan adanya dugaan tindak pidana mengganggu ketertiban umum dan/atau perbuatan memaksa disertai ancaman kekerasan dan/atau penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam, menjelaskan bahwa pihak kepolisian sedang melakukan penyelidikan terhadap terlapor. Sejumlah pasal, termasuk Pasal 172, 212, 217, 335, 503, dan 207 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP, dipertimbangkan sebagai dasar sangkaan hukum.

Kronologi kejadian yang disampaikan pihak kepolisian menyebutkan bahwa sekitar pukul 18.00 WIB, tiga orang aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil, termasuk Andrie Yunus dari Kontras, mengadakan aksi protes di depan ruang rapat. Mereka meneriakkan tuntutan agar pembahasan revisi UU TNI dihentikan karena dianggap tertutup dan tidak demokratis. Aksi tersebut disertai dengan pembentangan poster-poster yang berisi kritik terhadap proses legislasi yang berlangsung. Salah satu poster bertuliskan: "DPR dan Pemerintah Bahas RUU TNI di Hotel Mewah dan Akhir Pekan, Halo Efisiensi?", menunjukkan ketidaksetujuan terhadap lokasi dan waktu pembahasan UU yang dianggap tidak efisien dan tidak transparan.

Andrie Yunus dan dua aktivis lainnya juga menyampaikan kekhawatiran atas potensi kembalinya dwifungsi ABRI dalam revisi UU TNI. Mereka mengkritik proses pembahasan yang tertutup dan minim partisipasi publik, menganggap hal tersebut sebagai bentuk pelemahan demokrasi. Aksi protes yang dilakukan, menurut keterangan pihak kepolisian, melibatkan teriakan dan penggedoran pintu ruang rapat. Namun, YLBHI berpendapat bahwa aksi tersebut merupakan bentuk ekspresi dan protes yang masih berada dalam koridor demokrasi dan tidak seharusnya dikategorikan sebagai tindak pidana.

Peristiwa ini menonjolkan pentingnya keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses pembuatan undang-undang, khususnya yang menyangkut isu strategis seperti revisi UU TNI. Perdebatan mengenai dwifungsi ABRI dan implikasinya terhadap kehidupan sipil menjadi sorotan utama dalam kontroversi ini. Tindakan kepolisian dalam menangani kasus ini akan menjadi ujian bagi komitmen pemerintah dalam menghormati hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.

Insiden ini juga mempertanyakan etika dan transparansi dalam proses pembuatan kebijakan publik. Pembahasan UU TNI yang dilakukan secara tertutup di hotel mewah menimbulkan kecurigaan publik dan memicu protes. Ke depan, diharapkan agar proses pembuatan undang-undang di Indonesia lebih terbuka dan demokratis, menjamin partisipasi publik yang aktif dan menghindari praktik-praktik yang berpotensi menimbulkan kontroversi dan penyalahgunaan kekuasaan.