Penyelidikan Terorisme dan Tekanan Federal terhadap Universitas Columbia Menyulut Kontroversi Kebebasan Akademik
Penyelidikan Terorisme dan Tekanan Federal terhadap Universitas Columbia Menyulut Kontroversi Kebebasan Akademik
Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) tengah melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran undang-undang terorisme terkait demonstrasi pro-Palestina di Universitas Columbia. Langkah ini, yang diumumkan pada Minggu (16 Maret 2025), telah memicu kritik tajam dari para pendukung hak-hak sipil dan menimbulkan kekhawatiran serius mengenai dampaknya terhadap kebebasan akademik di Amerika Serikat. Wakil Jaksa Agung AS, Todd Blanche, menyatakan penyelidikan ini sebagai bagian dari misi Presiden Trump untuk memberantas antisemitisme, menyebutnya sebagai tindakan balasan yang sudah lama tertunda. Namun, beberapa pihak menilai langkah ini sebagai upaya pemerintah untuk membungkam kritik terhadap kebijakan luar negeri AS terkait konflik Israel-Palestina dan sebagai bentuk intimidasi terhadap kampus yang selama ini dikenal sebagai pusat aktivisme pro-Palestina.
Penyelidikan DOJ ini merupakan bagian dari rangkaian tekanan yang dilakukan pemerintah federal terhadap Universitas Columbia. Pemerintah mengancam untuk tidak mengembalikan dana federal sebesar USD 400 juta yang sebelumnya ditangguhkan, dengan syarat kampus tersebut harus melakukan sejumlah perubahan kebijakan. Syarat-syarat tersebut meliputi pendefinisian resmi antisemitisme, pelarangan penggunaan topeng di kampus, dan penataan ulang departemen Studi Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika di bawah pengawasan akademis yang lebih ketat. Selain itu, pemerintah juga menuntut reformasi kebijakan penerimaan dan perekrutan internasional agar sesuai dengan hukum federal. Tuntutan ini dibarengi dengan penggeledahan dua kamar asrama oleh agen federal, yang memicu kecaman atas dugaan pelanggaran privasi dan hak-hak mahasiswa.
Penggeledahan tersebut dilakukan seminggu setelah penahanan Mahmoud Khalil, pemimpin demonstrasi pro-Palestina tahun lalu, oleh agen imigrasi. Pemerintah AS berupaya mendeportasi Khalil, namun upaya tersebut sejauh ini dihalangi oleh pengadilan federal. Kasus Khalil semakin memperkuat anggapan bahwa tekanan terhadap Universitas Columbia terkait dengan aktivitas aktivisme pro-Palestina di kampus. Langkah ini juga bertepatan dengan penyelidikan terhadap 60 sekolah dan 45 universitas oleh Departemen Pendidikan AS atas dugaan toleransi terhadap lingkungan yang tidak ramah bagi orang Yahudi dan dugaan pelanggaran hukum hak sipil tahun 1964 terkait program keberagaman yang mempertimbangkan ras.
Demonstrasi di kampus Columbia yang memicu pengawasan federal ini dimulai setelah serangan Hamas terhadap Israel pada Oktober 2023 dan serangan balasan Israel yang didukung AS terhadap Gaza. Para demonstran menuntut agar dana abadi universitas ditarik dari investasi yang terkait dengan Israel dan agar AS menghentikan bantuan militer kepada Israel. Pemerintah Trump menuduh Columbia University tidak merespons dengan cukup terhadap aksi demonstrasi dan pendudukan gedung kampus oleh para aktivis.
Universitas Columbia telah membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa mereka telah berupaya memerangi antisemitisme sembari mempertahankan kebebasan berbicara akademis. Pengacara senior American Civil Liberties Union (ACLU), Brian Hauss, mengkritik penyelidikan DOJ sebagai tindakan yang salah arah dan menyatakan bahwa Amandemen Pertama Konstitusi AS melindungi hak-hak para pengunjuk rasa. Presiden sementara Columbia University, Katrina Armstrong, menegaskan bahwa penggeledahan asrama dilakukan setelah mendapatkan surat perintah pengadilan dan tidak ada penahanan atau pengambilan barang yang dilakukan. Namun, suasana di kampus tetap tegang, dengan para mahasiswa khawatir atas potensi pelanggaran kebebasan akademik dan hak-hak sipil.
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang batas-batas kebebasan berbicara di kampus, hubungan antara pemerintahan dan lembaga pendidikan tinggi, dan penggunaan undang-undang terorisme untuk mengatasi perbedaan pendapat politik. Perdebatan ini akan terus berlanjut, dengan konsekuensi yang signifikan terhadap kebebasan akademik dan iklim politik di Amerika Serikat.