Skandal Hukuman Mahasiswa Pro-Palestina di Columbia University: Tekanan Pemerintah AS dan Tuduhan Pelanggaran Hak Sipil
Skandal Hukuman Mahasiswa Pro-Palestina di Columbia University: Tekanan Pemerintah AS dan Tuduhan Pelanggaran Hak Sipil
Universitas Columbia, salah satu perguruan tinggi bergengsi di Amerika Serikat, tengah menghadapi kecaman luas menyusul pengenaan sanksi terhadap sejumlah mahasiswa dan alumni yang terlibat dalam aksi demonstrasi pro-Palestina pada musim semi lalu. Keputusan ini diambil setelah pemerintah Presiden Donald Trump mengancam pemotongan dana hibah federal senilai US$ 400 juta, mengatakan bahwa Columbia dinilai gagal dalam merespon isu antisemitisme di kampus. Pengumuman sanksi tersebut, yang meliputi penangguhan, pencabutan gelar sementara, hingga pemecatan, memicu kontroversi dan tuduhan pelanggaran hak-hak sipil.
Presiden sementara Universitas Columbia, Katrina Armstrong, dalam pernyataannya mengakui adanya kekhawatiran dari pemerintah Trump dan menyatakan kerja sama universitas dalam mengatasi hal tersebut. Namun, pernyataan ini justru semakin memperkuat kritik yang menyebut Columbia telah mengalah pada tekanan politik dan mengorbankan prinsip kebebasan akademik demi mempertahankan pendanaan. Aksi protes mahasiswa pro-Palestina dan aksi tandingan pro-Israel yang terjadi sebelumnya telah memicu tuduhan saling serang, mulai dari antisemitisme hingga Islamofobia dan rasisme. Universitas, dengan dalih perlindungan privasi, enggan merilis identitas mahasiswa yang dikenai sanksi dan jumlahnya yang pasti. Mahasiswa yang terkena sanksi, bagaimanapun, memiliki hak untuk mengajukan banding.
Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah pemecatan Grant Miner, mantan pemimpin serikat pekerja mahasiswa UAW Lokal 2710, sehari sebelum negosiasi kontrak dengan universitas dimulai. Serikat pekerja menyebut pemecatan Miner sebagai serangan terhadap hak-hak konstitusional, khususnya Amandemen Pertama yang menjamin kebebasan berbicara dan berkumpul. Juru bicara universitas, hingga saat ini, menolak berkomentar lebih lanjut mengenai pernyataan serikat pekerja tersebut. Kasus Miner menjadi simbol dari kritik yang lebih luas terhadap kampus Columbia, yang dianggap telah mengutamakan kepentingan finansial di atas nilai-nilai akademik dan kebebasan berekspresi.
Demonstrasi di kampus Columbia bermula setelah konflik antara Hamas dan Israel pada Oktober 2023, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang sangat besar di Gaza. Para demonstran menuntut penarikan dana abadi universitas yang terkait dengan entitas Israel, serta diakhirinya bantuan militer AS untuk Israel. Miner, dalam pidato publiknya, mengecam tindakan universitas dan menggambarkan penangkapan Mahmoud Khalil, seorang pemimpin demo pro-Palestina, sebagai upaya untuk menciptakan rasa takut dan mengintimidasi aktivis. Ia juga secara tegas mengkritik kebijakan universitas yang dinilai telah mengorbankan mahasiswa dan pekerja demi mendapatkan dana hibah.
Kontroversi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang independensi perguruan tinggi dalam menghadapi tekanan politik dan perlunya perlindungan yang lebih kuat terhadap kebebasan berekspresi bagi mahasiswa yang terlibat dalam aktivitas politik di kampus. Universitas Columbia, yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan yang terpandang, kini menghadapi tantangan untuk mempertahankan kredibilitasnya di tengah kritik yang membanjiri kampus terkait dengan dugaan pelanggaran hak-hak sipil mahasiswanya.
- Beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan:
- Tekanan pemerintah AS terhadap universitas.
- Pelanggaran hak-hak sipil mahasiswa dan alumni.
- Konflik antara kebebasan akademik dan pendanaan.
- Peran serikat pekerja dalam membela hak-hak mahasiswa.
- Dampak konflik Israel-Palestina terhadap kampus universitas di AS.