Generasi Z dan Praktik 'Career Catfishing': Ancaman Baru di Dunia Kerja Modern

Generasi Z dan Praktik 'Career Catfishing': Ancaman Baru di Dunia Kerja Modern

Tren baru yang mengkhawatirkan tengah melanda dunia kerja, khususnya di kalangan generasi Z: career catfishing. Praktik ini, yang melibatkan pencari kerja yang menerima tawaran pekerjaan namun kemudian mangkir tanpa pemberitahuan, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pakar dan perusahaan. Tidak hanya sebatas absensi pada hari pertama, career catfishing juga mencakup pembesaran kualifikasi, pemalsuan pengalaman kerja, dan bahkan penggunaan identitas palsu untuk mendapatkan posisi yang diinginkan. Fenomena ini menjadi semakin nyata di tengah persaingan perekrutan yang ketat dan proses seleksi yang seringkali panjang dan rumit, khususnya dalam era digital yang didominasi oleh sistem penyaringan otomatis yang berfokus pada kredensial ketimbang potensi sebenarnya.

Para ahli psikiatri di New Delhi, Dr. Astik Joshi dan Dr. Gorav Gupta, memberikan pandangan mendalam mengenai akar permasalahan ini. Mereka menekankan peran tekanan psikologis, seperti imposter syndrome, kecemasan akan penolakan, dan ketidakamanan kerja sebagai pemicu utama perilaku tersebut. Dr. Joshi menjelaskan bahwa career catfishing merupakan suatu strategi yang diadopsi oleh beberapa individu untuk mengatasi tekanan mendapatkan pekerjaan di tengah persaingan yang ketat. Sementara itu, Dr. Gupta menambahkan bahwa frustrasi terhadap proses perekrutan yang panjang, deskripsi pekerjaan yang ambigu, dan budaya kerja yang tidak sehat juga menjadi faktor pendorong. Ketidakpuasan terhadap norma-norma perusahaan dan prioritas generasi Z yang lebih menekankan kesejahteraan mental dibandingkan loyalitas perusahaan turut memperkuat fenomena ini. Generasi Z, yang terbiasa dengan fleksibilitas dan otonomi yang lebih besar, mungkin merasa sistem perekrutan konvensional terlalu kaku dan tidak sejalan dengan nilai-nilai mereka.

Konsekuensi dari career catfishing memiliki dampak luas. Bagi individu, tindakan ini berpotensi menimbulkan dampak psikologis negatif jangka panjang, termasuk kecemasan, stres, penurunan kepercayaan diri, rasa bersalah, dan bahkan isolasi sosial. Reputasi profesional juga dapat tercoreng, sehingga menyulitkan pencarian pekerjaan di masa mendatang. Dari perspektif perusahaan, career catfishing menimbulkan kerugian finansial dan operasional yang signifikan. Hilangnya produktivitas, kekosongan posisi yang berkepanjangan, dan terganggunya jadwal rekrutmen merupakan beberapa dampak negatif yang dialami perusahaan. Hal ini memaksa perusahaan untuk mengalokasikan lebih banyak waktu dan sumber daya untuk proses rekrutmen, sementara tim yang ada harus menanggung beban kerja tambahan.

Implikasi dari fenomena ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Perusahaan perlu mengevaluasi strategi rekrutmen mereka agar lebih efisien dan transparan, sehingga mengurangi frustrasi bagi para pencari kerja. Selain itu, upaya untuk menciptakan budaya kerja yang lebih sehat dan mendukung kesejahteraan mental karyawan dapat membantu mengurangi tekanan yang mendorong individu untuk melakukan career catfishing. Di sisi lain, pendidikan dan kesadaran mengenai dampak negatif dari praktik ini perlu ditingkatkan di kalangan generasi Z, agar mereka dapat memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan mencari solusi yang lebih konstruktif dalam menghadapi tantangan dalam pasar kerja.

Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Tekanan Psikologis: Imposter syndrome, kecemasan akan penolakan, dan ketidakamanan kerja adalah faktor utama penyebab career catfishing.
  • Proses Perekrutan: Proses perekrutan yang panjang, rumit, dan kurang transparan berkontribusi pada munculnya praktik ini.
  • Budaya Kerja: Budaya kerja yang tidak sehat dan tidak mendukung kesejahteraan mental karyawan juga menjadi faktor pendorong.
  • Nilai Generasi Z: Prioritas generasi Z yang lebih menekankan kesejahteraan mental daripada loyalitas perusahaan.
  • Dampak Negatif: Kerugian bagi perusahaan (waktu, sumber daya, produktivitas) dan bagi individu (psikologis dan reputasi).

Perlu adanya upaya kolaboratif antara perusahaan, pemerintah, dan lembaga pendidikan untuk mengatasi masalah ini dan menciptakan pasar kerja yang lebih sehat dan adil bagi semua pihak.