Revisi UU TNI: Protes Publik Ditemani Pembahasan Maraton di Hotel Mewah
Revisi UU TNI: Protes Publik Ditemani Pembahasan Maraton di Hotel Mewah
Pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Hotel Fairmont Jakarta pada 14-15 Maret 2025 telah memicu kontroversi. Rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI dengan pemerintah yang berlangsung selama dua hari tersebut, menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI Indra Iskandar, berlangsung sesuai tata tertib (tatib) DPR, yang mengizinkan rapat dengan urgensi tinggi dilaksanakan di luar gedung parlemen. Pemilihan Hotel Fairmont, sebuah hotel mewah bintang lima, didasarkan pada kebutuhan akan waktu istirahat yang memadai bagi anggota Panja mengingat intensitas pembahasan yang tinggi dan berlangsung secara maraton. Seluruh anggota Panja mendapat kamar masing-masing, dan check out dilakukan pada Minggu pagi pukul 10.00 WIB.
Namun, pemilihan lokasi tersebut mendapat penolakan keras dari koalisi masyarakat sipil. Sejumlah aktivis, termasuk dari Kontras, mengadakan aksi protes di depan ruang rapat pada Sabtu sore. Mereka mempertanyakan transparansi dan keterbukaan proses pembahasan RUU TNI, yang dianggap terlalu tertutup dan dilakukan di luar ruang publik. Aksi protes tersebut ditandai dengan teriakan-teriakan penolakan terhadap pembahasan RUU, serta pembentangan poster yang menyoroti potensi kembalinya dwifungsi ABRI dan dampak negatif dari perluasan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga. Salah satu poster bahkan menuliskan pertanyaan sinis, "DPR dan Pemerintah Bahas RUU TNI di Hotel Mewah dan Akhir Pekan, Halo Efisiensi?" Insiden kecil berupa dorongan fisik terhadap salah satu aktivis juga terjadi saat mereka berusaha masuk ke ruang rapat.
Dari sisi substansi, pembahasan RUU TNI difokuskan pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah. Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menjelaskan bahwa pembahasan hari pertama berpusat pada usia pensiun prajurit, dengan pertimbangan pangkat terakhir. Revisi UU TNI, menurut Hasanuddin, mencakup penambahan usia dinas keprajuritan hingga 58 tahun untuk bintara dan tamtama, dan hingga 60 tahun untuk perwira. Bahkan, ada kemungkinan perpanjangan hingga 65 tahun bagi prajurit dengan jabatan fungsional tertentu. Perubahan lainnya menyangkut penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga, yang diyakini semakin dibutuhkan. Hasanuddin menyebutkan bahwa pada hari pertama, sekitar 40 persen dari total 92 DIM telah dibahas.
Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya, menyatakan keprihatinannya terhadap pasal-pasal dalam RUU TNI yang berpotensi mengancam demokrasi dan HAM. Ia juga mengingatkan bahwa perluasan penempatan TNI di jabatan sipil dapat melemahkan profesionalisme militer, menciptakan loyalitas ganda, dan memunculkan dominasi militer di ranah sipil. Koalisi masyarakat sipil secara keseluruhan menganggap pembahasan RUU TNI di hotel mewah sebagai cerminan rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam proses penyusunan regulasi. Mereka mendesak agar proses revisi RUU TNI dihentikan dan diulang dengan melibatkan partisipasi publik secara aktif dan transparan.
Berikut poin-poin penting yang menjadi fokus protes masyarakat sipil:
- Kurangnya Transparansi: Pembahasan RUU TNI dianggap tertutup dan tidak melibatkan publik.
- Potensi Kembalinya Dwifungsi ABRI: Kekhawatiran atas kembalinya peran ganda TNI dalam kehidupan sipil.
- Perluasan Penempatan Prajurit Aktif: Keprihatinan terhadap potensi dominasi militer dalam jabatan sipil.
- Ancaman terhadap Demokrasi dan HAM: Kekhawatiran akan pasal-pasal dalam RUU yang berpotensi merugikan demokrasi dan HAM.
- Lokasi Pembahasan: Pemilihan hotel mewah sebagai lokasi pembahasan RUU dianggap tidak efisien dan tidak mencerminkan komitmen terhadap transparansi.