Tradisi 'Nyapu Duit' di Jembatan Sewo: Antara Mitos Saedah-Saeni dan Realita Ekonomi Masyarakat Subang
Tradisi 'Nyapu Duit' di Jembatan Sewo: Antara Mitos Saedah-Saeni dan Realita Ekonomi Masyarakat Subang
Fenomena unik mewarnai arus mudik Lebaran di jalur Pantura, tepatnya di perbatasan Subang-Indramayu. Di Jembatan Sewo, ratusan bahkan ribuan orang berkerumun, bukan untuk menyaksikan pemandangan, melainkan untuk 'menyapu' uang yang dilemparkan pengendara. Praktik yang dikenal sebagai 'nyapu duit' ini telah berlangsung turun-temurun, berakar pada mitos lokal yang mengisahkan legenda Saedah dan Saeni, sekaligus menjadi cerminan kondisi ekonomi masyarakat sekitar.
Legenda Saedah dan Saeni: Dua Versi Kisah Pilu
Dua versi cerita rakyat mengelilingi kisah Saedah dan Saeni, yang beredar luas di masyarakat sejak zaman penjajahan Belanda dan terdokumentasi dalam jurnal Patanjala Vol 8 No 3 September 2016. Baik versi pertama maupun kedua, inti ceritanya berkisar pada nasib tragis dua saudara perempuan yang dianiaya oleh ibu tiri mereka, Maimunah. Perbedaan terletak pada detail akhir kisah tersebut.
- Versi Pertama: Menceritakan bagaimana Saeni, setelah sukses menjadi ronggeng kaya raya, berpesan agar sebagian hartanya diberikan kepada ayah dan ibu tirinya yang kejam. Pasangan tersebut kemudian meninggal dunia dengan tragis saat melintasi Jembatan Sewo, makam mereka konon berada di dekat jembatan tersebut.
- Versi Kedua: Versi ini lebih dramatis. Saeni berubah menjadi buaya putih, sang ayah menjadi bale kambang (balai mengambang), ibu tiri menjadi pring ori (bambu), dan Saedah menjadi pohon. Kisah ini menggambarkan kutukan yang menimpa mereka yang berlaku kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Kedua versi kisah tersebut, yang telah diadaptasi ke berbagai bentuk kesenian rakyat, seperti drama, syair lagu, hingga film, menunjukkan betapa kuatnya cerita ini berakar dalam budaya lokal dan menjadi bagian integral dari identitas masyarakat sekitar Jembatan Sewo.
'Tawur Duit' dan Lahirnya 'Nyapu Duit'
Dari penelitian di Universitas Gadah Mada, praktik 'nyapu duit' ini berawal dari tradisi 'tawur duit', yakni melempar uang ke sungai atau jembatan sebagai bentuk persembahan atau untuk menghindari kesialan. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak zaman kereta kuda hingga kini, ketika lalu lintas sudah sangat padat. Awalnya, uang diambil dengan tangan kosong, tetapi seiring padatnya lalu lintas, sapu dan alat lainnya digunakan untuk mengumpulkan uang yang beterbangan.
Uum, seorang warga Indramayu yang telah menjalani tradisi ini sejak kecil hingga usia 50 tahun, menyatakan bahwa praktik 'nyapu duit' telah berlangsung sejak zaman kereta kencana. Bagi sebagian besar pelaku 'nyapu duit', kegiatan ini menjadi sumber pendapatan tambahan, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Di Antara Tradisi dan Penegakan Hukum
Meskipun praktik ini telah menjadi tradisi turun-temurun dan menjadi sumber penghidupan bagi banyak warga, pihak kepolisian telah beberapa kali melakukan tindakan pembubaran karena kegiatan tersebut mengganggu ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Namun, tradisi melempar uang oleh pengguna jalan dan kemiskinan yang dialami sebagian besar penduduk membuat tradisi ini sulit dihentikan. Praktik 'nyapu duit' di Jembatan Sewo menjadi studi kasus yang menarik, di mana tradisi budaya berbenturan dengan upaya penegakan hukum dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.