Retret Kepemimpinan: Refleksi dan Komitmen Menuju Tata Kelola Negara yang Lebih Baik
Retret Kepemimpinan: Refleksi dan Komitmen Menuju Tata Kelola Negara yang Lebih Baik
Baru-baru ini, sebelum memasuki bulan Ramadan, para pemimpin negara mengikuti kegiatan retret kepemimpinan di Akademi Militer (Akmil) Magelang. Kegiatan ini bukan sekadar pertemuan rutin, melainkan sebuah proses refleksi dan penajaman komitmen untuk menjalankan amanah kepemimpinan dengan lebih baik. Bertempat di lokasi yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota, retret ini memberikan kesempatan bagi para pemimpin untuk melakukan introspeksi diri dan merenungkan peran mereka dalam membangun bangsa.
Kegiatan ini menekankan pentingnya muhasabah dan tafakkur, sebuah proses merenung yang mendalam untuk menilai sejauh mana kebijakan yang telah diambil berdampak positif bagi kesejahteraan rakyat. Para peserta diajak untuk melampaui angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi dan melihat realitas di lapangan. Apakah kebijakan yang tampak sukses di atas kertas benar-benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat? Pertanyaan ini menjadi fokus utama dalam sesi-sesi refleksi yang dilakukan. Para pemimpin diingatkan akan pentingnya keadilan dan amanah dalam setiap pengambilan keputusan, seperti yang tertuang dalam firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa: 58: "Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil."
Salah satu peserta retret mengungkapkan keprihatinan akan kesenjangan antara pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan hati rakyat. Pembangunan jalan dan infrastruktur memang penting, tetapi kepemimpinan yang sejati tidak hanya berfokus pada hal tersebut, melainkan juga pada keikhlasan dan ketulusan dalam melayani masyarakat. Retret ini mendorong para pemimpin untuk meneladani Khalifah Umar bin Khattab yang dikenal karena kedekatannya dengan rakyat dan kesigapannya dalam merespon keluhan mereka. Para peserta diberikan waktu untuk introspeksi diri secara individual, jauh dari gangguan teknologi dan hiruk pikuk politik. Mereka didorong untuk menuliskan pertanyaan-pertanyaan kritis untuk diri sendiri, mencari jawaban dalam keheningan dan refleksi, sebagaimana Nabi Muhammad SAW di Gua Hira.
Proses retret kepemimpinan ini diibaratkan sebagai 'uzlah' atau pengasingan diri yang hakiki, bukan untuk lari dari tanggung jawab, tetapi untuk kembali dengan hati yang lebih bersih dan terfokus. Seperti Nabi Muhammad SAW yang pernah menjauh dari lingkungan jahiliyah di Quraisy, bukan untuk meninggalkan umatnya, tetapi untuk mempersiapkan diri memimpin perubahan besar. Retret ini menjadi sarana untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan kepemimpinan di bulan Ramadan, sebuah momentum untuk membersihkan niat, memperdalam kebijaksanaan, dan memperkuat ikatan dengan rakyat.
Setelah retret, para pemimpin tidak hanya kembali ke rutinitas kantor, tetapi juga membawa komitmen baru untuk aksi nyata. Mereka menyadari bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan dan strategi, melainkan juga pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT dan rakyat. Retret ini menjadi titik awal untuk membangun negeri dengan lebih bijaksana, mengutamakan keadilan, keikhlasan, dan ketulusan dalam melayani masyarakat. Bulan Ramadan menjadi momen yang tepat untuk meneguhkan komitmen tersebut, untuk menyucikan niat, dan meningkatkan kualitas kepemimpinan demi terwujudnya cita-cita bangsa.
Penulis: Wardi Taufiq, M.Si., Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, Ketua Pelaksana LSP Pariwisata Syariah Indonesia