Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan: Guru Besar UINSA Soroti Potensi Penyalahgunaan Wewenang
Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan: Ancaman atau Perbaikan Sistem Hukum?
Prof. Dr. Titik Triwulan Tutik, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, menyampaikan kritik tajam terhadap revisi Undang-Undang (RUU) TNI, Polri, dan Kejaksaan. Alih-alih memperkuat pengawasan, beliau menilai RUU tersebut justru cenderung memperluas kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum, meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang, dan berpotensi mengikis prinsip-prinsip demokrasi dan penegakan hukum yang adil. Kekhawatiran ini muncul setelah Prof. Titik menganalisis secara detail pasal-pasal krusial dalam ketiga RUU tersebut.
Kritik terhadap RUU Kejaksaan
Salah satu poin krusial yang disoroti adalah pasal 30C huruf h RUU Kejaksaan yang mengatur kewenangan Jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Prof. Titik mengingatkan bahwa pasal ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia menekankan pentingnya menghapus pasal tersebut dalam revisi RUU Kejaksaan untuk menjaga konsistensi hukum dan melindungi hak asasi warga negara.
Analisis RUU TNI: Kembalinya Dwi Fungsi ABRI?
Terkait RUU TNI, Prof. Titik menyorot dua pasal yang berpotensi menimbulkan masalah. Pasal 47 ayat (2) yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Mahkamah Agung, memicu kekhawatiran akan kembalinya praktik Dwi Fungsi ABRI di era Orde Baru. Hal ini dinilai dapat mengganggu netralitas TNI dan berpotensi memunculkan intervensi militer dalam ranah sipil.
Selain itu, perpanjangan usia pensiun anggota TNI yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) juga mendapat sorotan. Prof. Titik menekankan pentingnya kajian mendalam mengenai dampak perpanjangan usia pensiun tersebut terhadap efektivitas kerja, kesehatan fisik dan mental personel TNI, dan efisiensi anggaran. Tanpa kajian yang matang, kebijakan ini berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari.
RUU Polri: Kekhawatiran terhadap Perluasan Wewenang dan Potensi Penyalahgunaan
RUU Polri, menurut Prof. Titik, sarat dengan pasal-pasal yang menimbulkan kekhawatiran serius. Beberapa poin utama yang dikritik antara lain:
- Konflik kewenangan (overlapping): Sejumlah pasal menunjukkan adanya tumpang tindih kewenangan, berpotensi menimbulkan konflik internal dan inefisiensi. Pasal-pasal yang dimaksud meliputi Pasal 14 ayat (1) huruf d, e, f, l, n, dan m.
- Tindakan tanpa proses hukum: Beberapa pasal membuka peluang Polri untuk bertindak tanpa melalui proses hukum yang semestinya, seperti Pasal 16 ayat (1) huruf q (penindakan di ruang siber).
- Ancaman terhadap pihak asing: Pasal-pasal tertentu, misalnya Pasal 16A huruf d, dinilai mengancam pihak asing yang bersolidaritas terhadap kondisi demokrasi dan HAM di Indonesia.
- Perluasan eksesif kewenangan intelkam: Pasal 16B ayat (1) dan (2), serta Pasal 16A, dinilai memperluas secara berlebihan kewenangan intelkam dan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
- Peluang bisnis: RUU ini dinilai membuka peluang bagi Polri untuk terlibat dalam bisnis, seperti yang tercantum dalam Pasal 14 (1) huruf a dan Pasal 14 (2) huruf c.
- Superbody: Beberapa pasal memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Polri, berpotensi menjadikan institusi ini sebagai lembaga superbody, antara lain Pasal 16 ayat (1) huruf n dan p, Pasal 14 ayat (1) huruf h dan g.
- Penyadapan: Pasal 14 ayat (1) huruf o dinilai rentan penyalahgunaan dalam hal penyadapan.
- Regenerasi dan Politik: Pasal 30, yang mengatur perpanjangan usia pensiun, dianggap menghambat regenerasi dan berpotensi menjadikan Polri sebagai institusi politik.
- Minimnya Pengawasan: Prof. Titik menyoroti kurangnya mekanisme pengawasan (oversight mechanism) baik internal maupun eksternal dalam RUU Polri. Hal ini meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang.
Kesimpulan: Pentingnya Pengawasan dan Keseimbangan Kekuasaan
Prof. Titik menegaskan bahwa revisi ketiga RUU tersebut harus disertai dengan mekanisme pengawasan yang kuat dan terintegrasi. Penambahan kewenangan tanpa diimbangi dengan pengawasan yang efektif hanya akan melahirkan kesewenang-wenangan dan mengancam prinsip-prinsip negara hukum.