Seniman Muda Pilih Euthanasia di Belanda: Pergulatan dengan Gangguan Bipolar dan Pencarian Martabat di Akhir Hayat

Seniman Muda Pilih Euthanasia di Belanda: Pergulatan dengan Gangguan Bipolar dan Pencarian Martabat di Akhir Hayat

Joseph Awuah-Darko, seorang seniman Inggris-Ghana berusia 28 tahun, telah mengambil keputusan yang mengundang perhatian global: memilih euthanasia, atau bunuh diri dibantu secara medis, di Belanda. Keputusan ini diambil setelah bertahun-tahun berjuang melawan gangguan bipolar yang, menurut pengakuannya, telah menghancurkan kualitas hidupnya. Awuah-Darko secara terbuka mendokumentasikan perjalanannya di media sosial, mengungkapkan rasa sakit yang tak tertahankan dan keputusasaan yang mendalam yang menyertainya. Ia berharap keputusannya dapat menyoroti perlunya perhatian lebih besar terhadap kesehatan mental dan dukungan bagi mereka yang hidup dengan kondisi kronis seperti gangguan bipolar.

Diagnosis gangguan bipolar mengubah hidup Awuah-Darko secara drastis. Ia menggambarkan pengalamannya sebagai siklus tak berujung antara episode manik yang penuh energi dan hiperaktif, dan episode depresif yang menghancurkan dan melumpuhkan. Perawatan medis yang dijalaninya terbukti tidak efektif dalam memberikan kesembuhan, meninggalkan Awuah-Darko dengan rasa sakit yang mendalam dan keinginan untuk mengakhiri penderitaannya. Sebelum mengajukan permohonan euthanasia, ia telah melalui masa perenungan selama lima tahun, mempertimbangkan secara matang implikasi dari keputusannya yang begitu final.

Belanda, sebagai salah satu negara yang melegalkan euthanasia, memberikan Awuah-Darko suatu pilihan yang tidak tersedia di banyak negara lain. Proses ini, meski diregulasikan dengan ketat, tetap memerlukan penilaian yang cermat dan persetujuan dari tim medis spesialis. Awuah-Darko menjelaskan bahwa keputusannya bukanlah berasal dari penolakan hidup itu sendiri, melainkan dari beban mental yang telah melebihi batas kemampuannya untuk menanggung. Ia menekankan bahwa tujuannya adalah menemukan martabat dan ketenangan di akhir hayatnya, sebuah proses yang, menurutnya, hanya dapat dicapai melalui euthanasia yang terpandu secara medis.

Menariknya, di tengah menunggu persetujuan permohonan euthanasianya yang bisa memakan waktu hingga empat tahun, Awuah-Darko menjalankan proyek yang bertajuk 'The Last Supper Project'. Ia berkeliling Eropa, menikmati makan malam dengan orang asing. Proyek ini menjadi cara bagi Awuah-Darko untuk menjalin hubungan manusia dan menciptakan kenangan berharga sebelum kematiannya. Ia mendokumentasikan pengalaman ini di media sosial, berbagi kisahnya dengan dunia. Meskipun perjalanannya dipenuhi dengan rasa sakit fisik dan mental, Awuah-Darko bertekad untuk meninggalkan warisan yang dapat meningkatkan kesadaran dan empati terhadap orang-orang yang menderita penyakit mental kronis.

Kisah Awuah-Darko menimbulkan perdebatan etis dan moral yang kompleks mengenai euthanasia dan perawatan kesehatan mental. Di satu sisi, keputusannya menunjukkan ketidakberdayaan sistem kesehatan mental dalam menangani kasus-kasus yang sangat berat. Di sisi lain, keputusannya juga memunculkan pertanyaan mengenai hak individu untuk menentukan akhir hidup mereka sendiri dalam konteks penderitaan yang tak tertahankan. Kisah ini merupakan pengingat penting tentang perlu adanya perhatian dan dukungan yang lebih komprehensif bagi mereka yang berjuang dengan penyakit mental serta perlu adanya perdebatan yang terbuka dan berimbang mengenai euthanasia.