Pengawalan Kendaraan: Celah Hukum dan Minimnya Empati di Jalan Raya
Pengawalan Kendaraan: Celah Hukum dan Minimnya Empati di Jalan Raya
Baru-baru ini, insiden bentrok antara petugas patroli dan pengawalan (patwal) dengan pengendara sepeda motor di Puncak, Bogor, kembali menyoroti masalah pengawalan kendaraan di Indonesia. Peristiwa yang terekam video dan viral di media sosial ini menunjukkan bagaimana pengawalan kendaraan, khususnya yang berada di luar tujuh kategori prioritas yang tercantum dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, seringkali menimbulkan kontroversi dan keresahan di kalangan masyarakat. Dalam insiden tersebut, petugas patwal yang mengawal sebuah mobil Toyota Alphard terlibat cekcok dengan pengendara sepeda motor yang diduga tersenggol oleh kendaraan yang dikawal. Kasat Lantas Polres Bogor, AKP Rizky Guntama, menjelaskan bahwa petugas berusaha menghentikan sepeda motor tersebut karena dianggap membahayakan.
Namun, terlepas dari kronologi kejadian tersebut, insiden ini mengungkap permasalahan yang lebih luas: penafsiran yang longgar terhadap aturan pengawalan kendaraan dan kurangnya empati di jalan raya. Pasal 134 UU No. 22 Tahun 2009 menyebutkan tujuh kategori kendaraan yang berhak mendapat prioritas di jalan raya. Namun, poin ketujuh pasal tersebut, yang menyebutkan kendaraan untuk kepentingan tertentu berdasarkan pertimbangan petugas kepolisian, dinilai sebagai celah hukum yang rentan disalahgunakan. Jusri Pulubuhu, Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting, mengatakan bahwa poin ketujuh ini bersifat ambigu dan seharusnya dihapus. Ia mengungkapkan, praktik pengawalan kendaraan seringkali dimanfaatkan oleh individu atau kelompok yang mampu membayar, tanpa mempertimbangkan kepentingan umum dan menciptakan ketimpangan di jalan raya. "Butir 7 itu abu-abu," ujar Jusri. "Harusnya dihilangkan saja. Siapa saja sekarang, enggak usah bicara kelompok, ada duit, dia kawal. Sering tuh kejadian cuma satu orang, sipil, cuma karena kuat duit, telepon karena ada kedekatan, datang patwal, beres."
Praktik ini menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan wewenang dan diskresi kepolisian. Petugas patwal, menurut Jusri, harus mampu membedakan antara diskresi kepolisian yang bertanggung jawab dengan tindakan yang semata-mata didorong oleh faktor-faktor non-prosedural. Lebih lanjut, kurangnya empati dari pengguna jalan yang memanfaatkan pengawalan untuk kepentingan pribadi juga menjadi faktor penting dalam permasalahan ini. Kemacetan lalu lintas yang diakibatkan oleh pengawalan kendaraan seringkali memicu kecemburuan sosial dan konflik di jalan raya. Oleh karena itu, solusi yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Perbaikan regulasi yang lebih spesifik dan tegas terkait pengawalan kendaraan, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan empati dan kepatuhan terhadap aturan lalu lintas, merupakan langkah penting untuk menciptakan ketertiban dan keamanan di jalan raya.
Selain itu, peningkatan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja petugas patroli dan pengawalan juga sangat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa pengawalan kendaraan hanya dilakukan sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku. Transparansi dan akuntabilitas dalam penerapan aturan pengawalan kendaraan juga perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat mengawasi dan melaporkan jika terjadi pelanggaran. Dengan demikian, pengawalan kendaraan dapat dilakukan secara efektif dan efisien tanpa menimbulkan konflik dan ketidakadilan di jalan raya.
Berikut poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Perbaikan regulasi: Pasal 134 UU No. 22 Tahun 2009 perlu direvisi untuk menghilangkan ambiguitas dan mencegah penyalahgunaan wewenang dalam pengawalan kendaraan.
- Peningkatan kesadaran: Kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang empati dan kepatuhan terhadap aturan lalu lintas sangat penting.
- Peningkatan pengawasan: Pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja petugas patroli dan pengawalan perlu ditingkatkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
- Transparansi dan akuntabilitas: Transparansi dan akuntabilitas dalam penerapan aturan pengawalan kendaraan harus ditingkatkan.