Pemilu Ulang di 24 Daerah: Cerminan Krisis Integritas Penyelenggara Pemilu

Pemilu Ulang di 24 Daerah: Cerminan Krisis Integritas Penyelenggara Pemilu

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memutuskan penyelenggaraan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah sebagai konsekuensi dari berbagai pelanggaran dalam Pilkada 2024. Keputusan ini bukan sekadar koreksi teknis, melainkan refleksi serius atas krisis integritas dan profesionalisme penyelenggara Pemilu di tingkat daerah. Dari total 24 daerah, 14 di antaranya melaksanakan PSU secara menyeluruh, sedangkan 10 daerah lainnya melaksanakan PSU sebagian di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS). Satu daerah bahkan harus melakukan penghitungan suara ulang. Penyebabnya beragam, mulai dari permasalahan periodesasi masa jabatan, penggunaan ijazah palsu, hingga dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang kualitas pengawasan dan pelaksanaan Pilkada di Indonesia.

Rentang pelanggaran yang terjadi sangat memprihatinkan. Beberapa kasus menunjukan adanya dugaan persekongkolan antara penyelenggara Pemilu dengan calon tertentu. Kasus periodesasi masa jabatan, misalnya, melibatkan empat daerah di mana para calon petahana yang telah menjabat dua periode tetap memaksakan diri untuk maju kembali. MK membatalkan kemenangan mereka karena melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Lebih jauh lagi, terdapat sejumlah kasus penggunaan ijazah palsu oleh calon kepala daerah. Ketiganya terbukti telah menggunakan ijazah palsu dalam pencalonan. MK mendiskualifikasi calon-calon tersebut, tetapi hal ini menyingkap adanya kelemahan fatal dalam proses verifikasi dan validasi berkas pencalonan yang seharusnya dilakukan oleh penyelenggara Pemilu.

  • Kasus Periodesasi Masa Jabatan: Terdapat empat daerah yang terlibat dalam pelanggaran periodesasi masa jabatan, yaitu Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Keempat daerah ini menunjukan kesamaan pola, yaitu calon petahana yang ingin menjabat untuk periode ketiga. Kejadian ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan pemahaman hukum oleh penyelenggara Pemilu di daerah.
  • Kasus Ijazah Palsu: Tiga daerah mengalami kasus ijazah palsu, yaitu Kabupaten Pesawaran, Gorontalo Utara, dan Kota Palopo. MK membatalkan kemenangan para calon yang terbukti menggunakan ijazah palsu, menggarisbawahi pentingnya integritas dan verifikasi yang ketat dalam proses pencalonan.
  • Pelanggaran TSM dan Masalah Lainnya: Beberapa daerah juga menghadapi pelanggaran terkait TSM dan berbagai masalah administrasi lainnya. Hal ini menunjukan perlunya peningkatan kapasitas dan pengawasan yang lebih efektif dalam proses penyelenggaraan Pilkada.

Dampak dari pelanggaran-pelanggaran ini sangat luas. Selain kerugian materiil yang ditanggung negara dan daerah untuk pembiayaan PSU, yang diperkirakan mencapai Rp 1 triliun, terdapat dampak yang lebih besar terhadap kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Ketidakpercayaan ini dapat mengikis partisipasi politik dan melemahkan legitimasi pemerintah daerah yang terpilih. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah tegas dan komprehensif untuk mengatasi akar masalah ini. Komisi II DPR RI telah menunjukkan komitmennya dengan rencana realokasi anggaran dan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggara Pemilu. Namun, diperlukan tindakan lebih lanjut, termasuk penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran yang terjadi dan evaluasi kinerja penyelenggara Pemilu, bahkan hingga pemecatan jika diperlukan, untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

Kesimpulannya, Pemungutan Suara Ulang di 24 daerah menjadi cerminan nyata dari krisis integritas dan profesionalisme penyelenggara Pemilu. Perlu adanya reformasi menyeluruh dalam sistem penyelenggaraan Pemilu untuk memastikan terselenggaranya Pemilu yang jujur, adil, dan demokratis.