Kisah Arvin: Perjuangan Panjang Menghadapi Epilepsi dan Stigma Sosial

Kisah Arvin: Perjuangan Panjang Menghadapi Epilepsi dan Stigma Sosial

Arvin Widiawan, kini berusia 30 tahun, mengenang awal mula ia didiagnosis mengidap epilepsi. Sejak tahun 2006, setelah menyelesaikan Ujian Nasional tingkat Sekolah Dasar, ia merasakan sakit kepala hebat yang awalnya disangka kelelahan. Namun, rasa sakit tersebut merupakan pertanda awal dari perjuangan panjangnya melawan epilepsi, sebuah gangguan saraf yang ditandai dengan kejang-kejang tak terduga. Gejala tersebut muncul ketika aktivitas otaknya terlalu berat, termasuk saat mengikuti pelajaran di sekolah.

Perjalanan Arvin sejak didiagnosis epilepsi tak mudah. Ia harus menjalani pengobatan intensif dengan mengonsumsi empat hingga lima jenis obat dengan dosis yang diatur secara ketat oleh dokter. Kehidupan sosialnya pun terdampak. Banyak teman-temannya menjauh, takut tertular penyakit yang dianggap menular. Stigma negatif yang melekat pada epilepsi membuatnya sering dijauhi, bahkan dituduh terkena penyakit kutukan atau kesurupan. Pengalaman ini menghantui Arvin selama bertahun-tahun, dari masa SMP hingga kuliah.

"Mayoritas teman terdekat jadi agak menjauh," kenang Arvin. "Hanya beberapa yang mau mendampingi dan menolong saya saat kambuh." Pernyataan tersebut menggambarkan betapa beratnya beban sosial yang harus dipikul oleh penderita epilepsi. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai epilepsi yang sebenarnya hanyalah gangguan kelistrikan otak, menjadi salah satu penyebab utama stigma negatif yang masih melekat hingga saat ini.

Setelah bertahun-tahun berjuang melawan epilepsi dan stigma sosial, Arvin memutuskan untuk menjalani operasi otak pada tahun 2021. Keputusan ini diambil setelah ia mempertimbangkan berbagai risiko, termasuk kemungkinan malpraktek atau efek samping operasi. Motivasi terbesarnya adalah untuk mengurangi dampak epilepsi yang telah menghantui hidupnya selama belasan tahun.

Meskipun operasi telah dilakukan, Arvin masih merasakan beberapa efek samping, seperti gangguan memori jangka pendek. Ia kesulitan mengingat kosa kata, terutama saat bercakap-cakap dalam waktu yang lama. Namun, semangat Arvin untuk tetap hidup normal patut diacungi jempol. Ia kini bekerja sebagai tenaga pendidik swasta dan terus berjuang untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang epilepsi.

Kisah Arvin merupakan pengingat penting betapa pentingnya pemahaman dan empati terhadap penderita epilepsi. Mereka bukannya makhluk yang perlu dijauhi, melainkan individu yang membutuhkan dukungan dan pemahaman. Stigma sosial terhadap epilepsi harus dihilangkan, agar penderita epilepsi bisa hidup normal dan produktif di tengah masyarakat.

Dampak Epilepsi terhadap Kehidupan Arvin:

  • Sosial: Dijauhi teman, dituduh terkena penyakit kutukan dan kesurupan.
  • Akademik: Sering kambuh saat belajar, mengganggu konsentrasi.
  • Emosional: Merasa terbebani stigma sosial dan penyakitnya sendiri.
  • Medis: Mengonsumsi obat-obatan secara rutin, menjalani operasi otak, dan mengalami efek samping.

Arvin berharap, ke depannya, masyarakat lebih memahami epilepsi dan memberikan dukungan kepada para penderitanya. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan stigma negatif terhadap epilepsi dapat dikurangi, sehingga penderita epilepsi dapat hidup dengan lebih bermartabat dan berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat.