Polemik Penunjukan Ifan Seventeen sebagai Dirut PFN: Transparansi dan Kompetensi di Pertanyakan
Polemik Penunjukan Ifan Seventeen sebagai Dirut PFN: Transparansi dan Kompetensi di Pertanyakan
Pengangkatan Riefian Fajarsyah, atau yang lebih dikenal sebagai Ifan Seventeen, sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Perusahaan Film Negara (PFN) telah menimbulkan gelombang kontroversi di publik. Keputusan ini menuai kritik tajam, terutama karena minimnya rekam jejak Ifan di industri perfilman dan manajemen perusahaan, berbanding terbalik dengan kompleksitas tugas memimpin BUMN tersebut. PFN, sebagai badan usaha milik negara yang bergerak di bidang produksi film, membutuhkan kepemimpinan yang berpengalaman dan memiliki pemahaman mendalam tentang seluk-beluk industri kreatif ini. Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah penunjukan ini mencerminkan praktik tata kelola BUMN yang baik?
Kritik pedas datang dari berbagai kalangan. Sutradara kenamaan, Joko Anwar, menyoroti kurangnya pengalaman Ifan dalam industri perfilman. Menurut Joko Anwar, produksi film merupakan proses yang sangat kompleks, menuntut keahlian dan pengalaman bertahun-tahun. Sentimen serupa diungkapkan aktor Fedi Nuril melalui media sosial, yang mempertanyakan kapasitas dan prestasi Ifan di dunia perfilman. Bahkan, Fedi Nuril mengaitkannya dengan janji pemerintahan untuk menerapkan merit system dalam pengangkatan pejabat publik. Marcella Zalianty, Ketua PARFI 56, juga turut menyuarakan keprihatinannya, menekankan banyaknya profesional di industri perfilman nasional yang lebih layak menduduki posisi tersebut. Ketidakjelasan alasan di balik penunjukan Ifan semakin memperkuat kecurigaan publik terhadap transparansi proses pengambilan keputusan dalam hal ini.
Penjelasan resmi dari Kementerian BUMN dan Istana terkait alasan penunjukan Ifan terbilang minim dan normatif. Menteri BUMN, Erick Thohir, hanya memberikan pernyataan umum tanpa memberikan argumen yang konkrit. Sikap serupa ditunjukkan oleh pihak Istana yang merujuk pada penjelasan Kementerian BUMN. Kurangnya transparansi ini justru semakin menguatkan dugaan adanya penyimpangan dari prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi kerugian negara dan terhambatnya perkembangan industri perfilman nasional.
Tugas yang diemban Ifan sebagai Dirut PFN pun terbilang berat. Ia ditugaskan untuk memimpin proses konsolidasi PFN dengan Lokananta dan Balai Pustaka, sebuah upaya integrasi ekosistem kreatif BUMN yang membutuhkan keahlian manajemen dan pemahaman yang mendalam mengenai industri perfilman. Melihat latar belakang Ifan yang lebih dikenal sebagai vokalis grup band, kemampuannya dalam memimpin proses konsolidasi yang kompleks ini patut dipertanyakan.
Penunjukan Ifan sebagai Dirut PFN menyoroti pentingnya prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola BUMN. Pengangkatan pejabat publik, terutama di perusahaan negara, harus didasarkan pada kompetensi dan rekam jejak yang jelas. Ketidakjelasan alasan dan minimnya pengalaman Ifan menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan dan merugikan pengembangan industri perfilman Indonesia. Peristiwa ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah untuk memastikan proses pengangkatan pejabat di BUMN mengedepankan prinsip meritokrasi, transparansi, dan akuntabilitas, demi terwujudnya tata kelola BUMN yang profesional dan bertanggung jawab.
- Prinsip Tata Kelola BUMN yang Terabaikan: Transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran menjadi landasan utama tata kelola perusahaan yang baik, namun dalam kasus ini, beberapa prinsip tersebut dipertanyakan.
- Tugas Berat Dirut PFN: Konsolidasi PFN dengan Lokananta dan Balai Pustaka merupakan tugas yang kompleks dan menuntut keahlian serta pengalaman yang memadai.
- Reaksi Publik: Kritik dari berbagai pihak, termasuk sutradara, aktor, dan pelaku industri perfilman, menunjukkan keprihatinan publik terhadap penunjukan tersebut.
- Minimnya Transparansi: Kurangnya penjelasan resmi dari Kementerian BUMN dan Istana terkait alasan penunjukan semakin memperkuat ketidakpercayaan publik.