Sidang Perdana ICC: Duterte Muncul Virtual, Bantahan Keras dari Tim Hukum
Sidang Perdana ICC: Duterte Muncul Virtual, Bantahan Keras dari Tim Hukum
Rodrigo Duterte, mantan Presiden Filipina, menjalani sidang perdananya di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada Jumat, 14 Maret 2024, melalui sambungan video dari pusat penahanan di Den Haag, Belanda. Penampilan virtual ini menyusul penangkapannya di Manila beberapa hari sebelumnya atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait operasi “perang narkoba” yang kontroversial selama masa jabatannya. Duterte, yang terlihat lemah mengenakan jas biru, hanya memberikan konfirmasi identitas singkat sebelum sidang dilanjutkan. Hakim Iulia Antoanella Motoc menetapkan sidang praperadilan pada 23 September untuk menentukan kelanjutan kasus ke persidangan. Hukuman maksimal yang dihadapi Duterte jika terbukti bersalah adalah penjara seumur hidup.
Tim hukum Duterte langsung melontarkan protes keras atas penangkapan dan proses hukum yang dijalaninya. Pengacara Salvador Medialdea menyebut penangkapan kliennya sebagai “penculikan” dan “penyelesaian politik,” menuduh pemerintah Filipina menyerahkan Duterte kepada ICC tanpa proses hukum yang sah. Medialdea juga menyatakan Duterte tengah menjalani perawatan medis akibat masalah kesehatan, meskipun hakim memastikan bahwa menurut penilaian dokter pengadilan, Duterte sepenuhnya sadar dan sehat secara mental.
Detail Kasus dan Reaksi Beragam
Jaksa ICC mendakwa Duterte sebagai “penjahat bersama tidak langsung” atas pembunuhan massal yang dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Dakwaan tersebut merujuk pada periode November 2011 hingga Maret 2019, mencakup masa jabatan Duterte sebagai wali kota Davao dan presiden. Bukti yang diajukan jaksa mencakup kesaksian saksi, pidato Duterte, dokumen pemerintah, dan rekaman video. Dakwaan tersebut menuduh Duterte memerintahkan pembunuhan, merekrut, membayar, dan memberi hadiah kepada para pembunuh, serta menyediakan senjata dan sumber daya, dan menjanjikan perlindungan dari penuntutan. Perkiraan jumlah korban tewas bervariasi, dari lebih dari 6.000 menurut kepolisian hingga sekitar 30.000 menurut kelompok HAM.
Reaksi terhadap penangkapan Duterte terpolarisasi. Kelompok HAM dan keluarga korban menyambutnya sebagai kemenangan besar, sementara pendukung Duterte mengecamnya sebagai manuver politik dan menentang yurisdiksi ICC atas Filipina, yang telah menarik diri dari pengadilan tersebut. Melinda Abion Lafuente, yang anaknya menjadi korban pembunuhan pada 2016, mengungkapkan rasa lega atas penangkapan Duterte. Sementara itu, Wakil Presiden Filipina Sara Duterte, putri Rodrigo Duterte, menyatakan akan berupaya mengunjungi ayahnya dan berharap mendapatkan izin untuk memindahkan sidang awal.
Perdebatan Yurisdiksi dan Strategi Hukum
Tim hukum Duterte berargumen bahwa pemerintah Filipina saat ini seharusnya tidak membiarkan ICC menangani kasus tersebut karena Filipina telah menarik diri dari ICC. Mantan juru bicara presiden Duterte, Harry Roque, bahkan telah mengajukan permohonan untuk menjadi salah satu pengacaranya dan berencana mengajukan keberatan terhadap penangkapan dan yurisdiksi ICC. Namun, hakim ICC berpendapat bahwa kejahatan yang dituduhkan terjadi sebelum penarikan diri Filipina dari ICC, sehingga pengadilan masih memiliki yurisdiksi atas kasus ini. Perdebatan hukum ini diperkirakan akan menjadi inti dari proses hukum yang panjang dan rumit.
Penampilan Duterte dalam sidang ini, meskipun virtual, menandai babak baru dalam kasus yang telah lama menjadi sorotan internasional. Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang pertanggungjawaban pemimpin dunia atas dugaan pelanggaran HAM, serta batas-batas yurisdiksi pengadilan internasional.
Catatan: Informasi tanggal dan waktu berdasarkan informasi yang tersedia pada saat penulisan.