Mantan Jubir KPK Bela Sekjen PDIP yang Tersangka Korupsi: Menuai Kritik dan Polemik Etik
Mantan Jubir KPK Bela Sekjen PDIP yang Tersangka Korupsi: Menuai Kritik dan Polemik Etik
Febri Diansyah, mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini menjadi sorotan tajam publik setelah bergabung dengan tim kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang berstatus tersangka kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan oleh KPK. Keputusan Febri ini menuai kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk mantan penyidik dan aktivis anti-korupsi, yang mempertanyakan etika dan integritasnya.
Pertama kali terlihat membela Hasto dalam konferensi pers di Kantor DPP PDI Perjuangan pada 11 Maret 2025, Febri langsung menuding dakwaan jaksa KPK terhadap Hasto sebagai 'oplosan'. Pernyataan kontroversial ini menjadi pemicu gelombang kritik. Yudi Purnomo Harahap, mantan penyidik KPK, menilai pernyataan Febri tidak berdasar pada argumen hukum dan bukti yang cukup. Ia bahkan menekankan bahwa selama menjabat sebagai jubir KPK, Febri hanya memiliki akses terbatas terhadap detail penanganan kasus, sehingga penilaiannya dinilai prematur dan tidak objektif. Yudi menegaskan, "Masuknya Febri tidak akan berpengaruh dalam perkara Hasto, walau sebenarnya dia tahu fakta sebenarnya ketika menjadi jubir dan sekarang tiba-tiba membela, mengesampingkan fakta yang dulu dia tahu."
Kritik serupa datang dari Isnur, yang menyoroti potensi konflik kepentingan dan pelanggaran kode etik advokat yang dilakukan Febri. Isnur menuding pilihan Febri untuk membela Hasto sebagai tindakan yang mengabaikan peran Hasto dan PDI Perjuangan dalam upaya pelemahan KPK pada tahun 2019, termasuk dalam revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK yang kontroversial. Isnur menyatakan, "Tindakan ini mencoreng mantan juru bicara KPK, dari orang yang pernah merasakan, berteriak secara langsung sebagai bagian dari orang atau lembaganya yang dilemahkan lembaga KPK-nya."
Novel Baswedan, mantan penyidik KPK lainnya, turut mengecam langkah Febri. Ia menyoroti rekam jejak Febri yang sebelumnya juga membela tersangka korupsi dalam kasus-kasus lain, seperti Sambo dan Syahrul Yasin Limpo. Novel menilai Febri tidak hanya membela Hasto di pengadilan, tetapi juga berupaya membentuk persepsi publik terhadap kasus tersebut. Novel menambahkan, "Padahal saat kasus Harun Masiku dan Hasto terjadi, yang bersangkutan sebagai juru bicara KPK. Belum lagi peran Hasto dkk yang melemahkan KPK/pemberantasan korupsi dari berbagai cara."
Praswad, juga mantan pegawai KPK, turut menyuarakan keprihatinannya. Ia menekankan bahwa meskipun Febri bukan penyidik KPK, ia tetap memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung pemberantasan korupsi. Praswad mempertanyakan integritas Febri dan menyoroti bahwa pilihannya menjadi pengacara Hasto menambah daftar panjang tersangka korupsi yang pernah dibelanya. Praswad menegaskan, "Meskipun Saudara Febri Diansyah tidak pernah menjabat penyidik KPK dan tidak pernah menyusun konstruksi pembuktian perkara selama bekerja di KPK, yang bersangkutan tetap memiliki kewajiban moral untuk tidak menggunakan predikat mantan pegawai sebagai tiket untuk membela koruptor demi kepentingan pribadi."
Menanggapi kritik tersebut, Febri mengakui adanya perbedaan pendapat, namun ia menekankan komitmennya untuk menjalankan tugas sebagai pengacara sesuai aturan yang berlaku. Ia berharap perbedaan pandangan tidak merusak hubungan pertemanannya dengan para pengkritik. Febri menyatakan, "Saya hanya ingin sampaikan, kadang mungkin kita berbeda pendapat karena melihat dari sudut pandang yang berbeda. Tapi semoga tidak memutus silaturahmi sebagai manusia."
Kasus ini menimbulkan perdebatan publik yang luas mengenai etika dan profesionalisme dalam dunia hukum, khususnya bagi mantan pejabat publik yang beralih profesi menjadi pengacara. Pertanyaan tentang konflik kepentingan dan tanggung jawab moral masih menjadi sorotan utama dalam kasus ini.