Kejaksaan Agung Dorong Peningkatan Hukuman bagi Koruptor: Hukuman Mati dan Sanksi Sosial
Kejaksaan Agung Dorong Peningkatan Hukuman bagi Koruptor: Hukuman Mati dan Sanksi Sosial
Jaksa Agung ST Burhanuddin kembali menyuarakan keprihatinannya terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor, khususnya mereka yang terlibat dalam mega korupsi yang merugikan keuangan negara secara signifikan. Dalam wawancara terbaru, beliau menekankan harapannya akan penerapan hukuman yang lebih berat, termasuk hukuman mati, sebagai upaya penegakan hukum yang efektif dan memberikan efek jera. Pernyataan ini disampaikan menyusul kekecewaannya terhadap putusan pengadilan terhadap terdakwa Benny Tjokrosaputro dalam kasus korupsi Asabri, dimana tuntutan hukuman mati ditolak karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam kasus korupsi Jiwasraya.
Burhanuddin menjelaskan bahwa meskipun tuntutan hukuman mati diajukan dalam kasus Asabri, yang merugikan negara hingga Rp 22,7 triliun, pengadilan memutuskan hukuman nihil dengan alasan terdakwa telah menjalani hukuman seumur hidup dalam kasus lain. Kekecewaan Jaksa Agung atas putusan ini didasarkan pada keyakinan bahwa hukuman yang dijatuhkan belum sepenuhnya memberikan efek jera dan belum sebanding dengan kerugian negara yang sangat besar. Beliau juga mempertanyakan bagaimana penerapan hukuman seumur hidup ganda, yang secara praktis tidak mungkin diterapkan. "Putusannya, jujur mengecewakan saya," ujarnya, menambahkan bahwa "tidak mungkin (vonis) seumur hidupnya dua kali." Meskipun mengakui bahwa putusan pengadilan bersifat final dan mengikat, beliau tetap berharap adanya revisi atau pertimbangan hukum yang lebih komprehensif untuk kasus-kasus korupsi dengan kerugian negara yang sangat besar.
Namun, Jaksa Agung juga menyadari bahwa hukuman mati bukanlah satu-satunya solusi. Beliau menekankan pentingnya peran sanksi sosial dalam memberantas korupsi. Sanksi sosial, menurut Burhanuddin, dapat memberikan efek jera yang lebih signifikan, bahkan lebih berat daripada hukuman formal dari pengadilan. Dampak sanksi sosial tidak hanya menimpa terdakwa, tetapi juga meluas kepada keluarga dan lingkungan sosial mereka. "Kalau (koruptor) dihukum, keluarga anaknya (ikut terdampak). Mungkin suatu saat anaknya sudah mau kawin, (ada orang bilang) ‘Oh ini ya ternyata, ternyata. Ini besannya, misalnya (yang bilang), ‘Oh ternyata, anaknya dulu (anak dari) koruptor itu. Itu kan sudah hukuman," jelas Burhanuddin. Dengan adanya sanksi sosial, diharapkan calon pelaku korupsi akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan yang merugikan negara dan masyarakat.
Kejaksaan Agung berharap dengan adanya kombinasi hukuman yang lebih berat, termasuk potensi hukuman mati, dan kekuatan sanksi sosial yang kuat, akan dapat menciptakan efek jera yang signifikan terhadap para koruptor. Upaya ini merupakan bagian dari komitmen Kejaksaan Agung dalam memberantas korupsi di Indonesia dan melindungi keuangan negara.
Langkah-langkah Kejaksaan Agung ke Depan:
- Mempelajari putusan pengadilan secara detail untuk mengidentifikasi celah hukum dan potensi perbaikan.
- Meningkatkan koordinasi dengan lembaga penegak hukum lain untuk memperkuat penegakan hukum terhadap korupsi.
- Meningkatkan sosialisasi dan edukasi publik mengenai pentingnya pencegahan korupsi dan dampaknya bagi masyarakat.
- Menyusun strategi hukum yang lebih komprehensif dan efektif dalam menuntut dan menghukum koruptor.