Presidential Threshold 20 Persen Dinilai Menteri HAM Melanggar Hak Politik Warga

Presidential Threshold 20 Persen Dinilai Langgar HAM

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, secara tegas menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pernyataan tersebut disampaikan Pigai saat memberikan kuliah umum di sebuah universitas di Medan, Jumat (14 Maret 2025). Ia menekankan pentingnya memahami hak politik dalam konteks demokrasi dan HAM, menyebutnya sebagai pilar utama dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan.

Pigai berpendapat bahwa presidential threshold 20 persen membatasi hak politik warga negara untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. Menurutnya, negara yang bermartabat seharusnya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap warga negara yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memimpin, tanpa adanya batasan-batasan yang bersifat diskriminatif. Dengan adanya presidential threshold yang tinggi, hanya segelintir orang yang memenuhi syarat, sehingga membatasi partisipasi politik dan melanggar prinsip kesetaraan dalam demokrasi. Hal ini, menurutnya, merupakan bentuk pembatasan yang tidak adil dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM.

"Negara yang bermartabat adalah negara yang memberikan kesempatan kepada siapa pun yang memiliki kapasitas untuk memimpin," tegas Pigai. "Presidential threshold 20 persen melanggar HAM karena membatasi kesempatan tersebut dan hanya memberikan akses kepada sekelompok orang tertentu." Ia menambahkan bahwa setiap individu memiliki hak mutlak untuk berbakti kepada negara, termasuk melalui partisipasi aktif dalam proses politik, termasuk pencalonan diri dalam pemilihan umum.

Pernyataan Pigai ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (2 Januari 2025) membatalkan pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur presidential threshold 20 persen. Keputusan MK tersebut dianggap sebagai langkah penting dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik masyarakat. Putusan MK tersebut dibacakan langsung oleh Ketua MK, Suhartoyo, yang menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dengan demikian, keputusan MK memberikan ruang bagi lebih banyak calon presiden untuk berkompetisi dalam pemilihan umum. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan memberikan pilihan yang lebih beragam bagi masyarakat dalam menentukan pemimpin mereka. Namun, pernyataan Menteri Pigai juga menyoroti pentingnya memperhatikan dan melindungi hak-hak politik warga negara dalam setiap proses pengambilan kebijakan di bidang politik. Ia menekankan pentingnya menciptakan lingkungan politik yang inklusif dan setara bagi seluruh lapisan masyarakat.

Pilar Demokrasi dalam Perspektif HAM

Lebih lanjut, Menteri Pigai menjelaskan empat pilar demokrasi yang terkait erat dengan hak politik, yang menurutnya harus dijaga dalam konteks HAM:

  1. Kedaulatan Rakyat
  2. Hak Asasi Manusia
  3. Pemerintahan Berdasarkan Hukum
  4. Pemilihan Umum yang Bebas dan Adil

Pigai menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara keempat pilar tersebut untuk memastikan terwujudnya demokrasi yang berkualitas dan melindungi hak-hak seluruh warga negara.