Hikmah Diam: Menjaga Lisan di Bulan Ramadan dan Era Digital
Hikmah Diam: Menjaga Lisan di Bulan Ramadan dan Era Digital
Bulan Ramadan, bulan penuh berkah dan ampunan, tak hanya mengajak umat Muslim untuk menahan lapar dan dahaga, namun juga menekankan pentingnya pengendalian diri, khususnya dalam menjaga lisan. Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, mengingatkan akan hikmah diam sebagai ibadah yang seringkali terabaikan. Beliau menjelaskan bahwa menahan diri dari perkataan yang tak bermanfaat merupakan bentuk ibadah yang sangat penting, bahkan lebih penting dari yang kita sadari selama ini.
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam...", menjadi landasan kuat akan pentingnya menjaga lisan. Dalam era modern ini, perkataan tak hanya diucapkan secara lisan, namun juga melalui media digital. Prof. Nasaruddin Umar menekankan bahaya penyebaran informasi yang tidak terverifikasi, fitnah, dan aib orang lain melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Dampaknya bisa sangat luas dan berpotensi merusak reputasi seseorang, bahkan tanpa disadari.
"Terlalu banyak bicara itu banyak risiko negatifnya, bicara seperlunya itu lebih baik," tegas Prof. Nasaruddin Umar dalam wawancara di detikKultum, Jumat (14/3/2025). Beliau menambahkan bahwa seringkali kita tanpa sadar terlibat dalam percakapan yang tidak produktif, seperti membicarakan aib orang lain, menyebarkan gosip, atau sekadar basa-basi tanpa tujuan. Sebaliknya, dengan membatasi perkataan dan menjaga ketenangan, kita dapat membangun wibawa dan mendapatkan rasa hormat dari orang lain.
Di era digital, kebebasan berekspresi di media sosial harus diimbangi dengan tanggung jawab moral. Kecepatan penyebaran informasi melalui media digital membuat dampak negatif dari perkataan yang tak terkontrol semakin besar. "Sekali dilontarkan aib seseorang melalui ketikan, bisa jutaan yang menyebarkannya, na'udzu billahi min dzalik," ungkap Prof. Nasaruddin Umar, menekankan perlunya kehati-hatian dalam menggunakan media sosial.
Oleh karena itu, menjaga lisan di bulan Ramadan dan sepanjang tahun, menurut Prof. Nasaruddin Umar, bukan hanya soal menahan perkataan yang tidak bermanfaat, tetapi juga mengendalikan jari-jari kita dari mengetik dan menyebarkan informasi yang tidak perlu. Beliau mengajak umat Muslim untuk memanfaatkan momen Ramadan untuk melatih diri dalam berbicara dan menulis dengan bijak. "Mari rawat kemabruran bulan suci Ramadan dengan cara mengistirahatkan mulut kita dari bicara yang tidak ada gunanya," ajaknya.
Lebih lanjut, Prof. Nasaruddin Umar mengingatkan hadits Rasulullah SAW tentang dosa yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka: "(Dosa) lidah dan kemaluan." (HR. Tirmidzi No. 2004). Hadits ini menggarisbawahi betapa pentingnya menjaga lisan sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan terhindar dari siksa neraka. "Karena separuh penghuni neraka itu karena mulut. Kalau kita mampu menjinakkan mulut, berarti kita mampu menutup separuh pintu neraka," pungkas beliau. Prof Nasaruddin Umar mengajak untuk memaksimalkan bulan Ramadan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ibadah dengan menjaga lisan dan memilih kata-kata yang bijak, baik lisan maupun tulisan.
Berikut poin-poin penting yang dapat disimpulkan dari wawancara tersebut:
- Hikmah diam sebagai bentuk ibadah.
- Bahaya perkataan yang tidak bermanfaat, terutama di era digital.
- Pentingnya pengendalian diri dalam berbicara dan menulis.
- Menjaga lisan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT dan terhindar dari siksa neraka.
- Ramadan sebagai momentum untuk melatih diri menjaga lisan.