Kontroversi Lagu 'Bayar, Bayar, Bayar' dan Pemecatan Vokalis Sukatani: Uji Nyata Kebebasan Berekspresi dan Hukum di Indonesia

Kontroversi Lagu 'Bayar, Bayar, Bayar' dan Pemecatan Vokalis Sukatani: Uji Nyata Kebebasan Berekspresi dan Hukum di Indonesia

Lagu "Bayar, Bayar, Bayar" karya band punk Sukatani telah memicu perdebatan sengit mengenai kebebasan berekspresi dan implikasinya di Indonesia. Setelah lagu tersebut ditarik dari berbagai platform musik menyusul permintaan maaf personel band kepada pihak kepolisian, warganet dan musisi ramai-ramai menyuarakan keprihatinan atas tindakan tersebut. Banyak yang menilai penarikan lagu tersebut sebagai bentuk pembredelan yang membatasi kreativitas dan kebebasan berpendapat.

Dr. Subarsono, MSi, MA, Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Fisipol UGM, menilai langkah kepolisian terlalu tergesa-gesa. Beliau berpendapat bahwa lagu tersebut, meskipun mengandung lirik yang menyebut polisi, bisa diinterpretasikan sebagai kritik sosial yang bertujuan memperbaiki citra institusi kepolisian. Sebuah pendekatan yang lebih bijak dan sabar, menurutnya, justru akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap kepolisian. Subarsono menekankan pentingnya penerapan demokrasi yang riil dan elegan dalam menghadapi perbedaan pendapat, dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat.

Pemecatan Vokalis Sukatani: Pelanggaran Kode Etik atau Pembatasan Kebebasan?

Kontroversi tak berhenti di situ. Novi Citra Indriyati, vokalis Sukatani yang dikenal dengan nama panggung Twister Angel, dipecat dari pekerjaannya sebagai guru di SD Islam Terpadu Mutiara Hati, Banjarnegara. Yayasan Al Madani Banjarnegara, yang menaungi sekolah tersebut, menyatakan pemecatan terkait pelanggaran kode etik dan kaidah sekolah, khususnya mengenai 'membuka aurat' di luar jam sekolah. Pihak yayasan dengan tegas membantah pemecatan tersebut berkaitan dengan lagu "Bayar, Bayar, Bayar".

Namun, band Sukatani melalui unggahan Instagram resmi mereka menyatakan bahwa pemecatan tersebut bersifat sepihak dan dilakukan tanpa memberikan kesempatan Novi untuk memberikan klarifikasi. Mereka menyoroti bahwa surat pemecatan sama sekali tidak menjelaskan apakah keikutsertaan Novi sebagai personel band merupakan pelanggaran berat. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pemecatan tersebut merupakan bentuk pembalasan atas kontroversi lagu mereka.

Subarsono kembali menyoroti peristiwa ini sebagai bukti bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi yang sejati. Ia berpendapat bahwa pemecatan seorang guru seharusnya mengikuti prosedur yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya Pasal 30 ayat (1) dan (2). Pasal tersebut secara rinci menjelaskan alasan-alasan yang dapat memicu pemecatan guru, baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat. Pemberhentian sepihak tanpa alasan rasional yang jelas, menurut Subarsono, merupakan pelanggaran hukum.

Pasal 30 UU No. 14 Tahun 2005:

(1) Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena: * Meninggal dunia; * Mencapai batas usia pensiun; * Atas permintaan sendiri; * Sakit jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan; * Berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan.

(2) Guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena: * Melanggar sumpah dan janji jabatan; * Melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; * Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.

Kasus ini menjadi sorotan penting, mengungkapkan dilema antara kebebasan berekspresi, implementasi hukum, dan penegakan kode etik di Indonesia. Perdebatan ini mengajak kita untuk merefleksikan sejauh mana prinsip-prinsip demokrasi benar-benar dijalankan dan dihormati dalam berbagai aspek kehidupan.