Rupiah Menguat Tipis di Tengah Harapan Pemotongan Suku Bunga The Fed dan Ketidakpastian Global

Rupiah Menguat Tipis di Tengah Harapan Pemotongan Suku Bunga The Fed dan Ketidakpastian Global

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) mencatatkan penguatan tipis pada penutupan perdagangan Jumat, 14 Maret 2025. Rupiah berhasil menembus level Rp 16.350 per USD, menandai apresiasi sebesar 0,47 persen dibandingkan penutupan sebelumnya di level Rp 16.452 per USD. Penguatan ini juga tercermin pada Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia yang berada di angka Rp 16.392 per USD, naik dari Rp 16.428 per USD. Meskipun demikian, penguatan ini dinilai masih terbatas di tengah berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pasar keuangan.

Para analis menilai, harapan pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) menjadi salah satu pendorong utama penguatan rupiah. Data Producer Price Index (PPI) Amerika Serikat yang dirilis sebelumnya menunjukkan penurunan signifikan, mencapai 0,0 persen pada Februari 2025, jauh di bawah ekspektasi analis sebesar 0,3 persen. PPI Inti pun melemah menjadi 0,1 persen. Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, menjelaskan bahwa angka inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan, baik dari Consumer Price Index (CPI) maupun PPI, telah memperkuat spekulasi akan adanya pemotongan suku bunga oleh The Fed pada akhir tahun ini. Pernyataan ini sejalan dengan analisis dari Rully Nova, Analis Bank Woori Saudara, yang juga menghubungkan penguatan rupiah dengan data PPI AS yang lebih rendah dari perkiraan.

Namun, sentimen positif tersebut diimbangi oleh sejumlah faktor yang menimbulkan ketidakpastian. Pertemuan The Fed pada 18-19 Maret 2025 yang akan membahas kebijakan suku bunga menjadi sorotan. Konsensus saat ini cenderung memprediksi suku bunga akan tetap dipertahankan mengingat inflasi yang masih berlanjut dan sengketa perdagangan internasional yang belum terselesaikan. Ancaman Presiden AS Donald Trump untuk mengenakan tarif 200 persen terhadap minuman beralkohol Eropa, sebagai balasan atas tarif UE terhadap wiski AS, juga turut menambah kekhawatiran. Langkah ini merupakan respons atas tarif 25 persen yang diberlakukan AS terhadap baja dan aluminium impor dari UE. Menurut Ibrahim Assuabi, ancaman tarif tersebut, ditambah dengan rencana Trump untuk menerapkan tarif timbal balik di seluruh dunia pada 2 April 2025, berpotensi memperburuk sentimen investor.

Di sisi domestik, defisit anggaran pemerintah masih menjadi bayang-bayang yang menekan nilai rupiah. Meskipun harapan pemotongan suku bunga The Fed memberikan sentimen positif, faktor-faktor eksternal yang penuh ketidakpastian dan kondisi internal ekonomi Indonesia yang masih memiliki tantangan membuat penguatan rupiah masih bersifat terbatas dan rawan volatilitas. Perkembangan selanjutnya akan sangat bergantung pada keputusan The Fed, dinamika perdagangan internasional, dan upaya pemerintah dalam mengatasi defisit anggaran.

Kesimpulan: Penguatan rupiah terhadap dolar AS pada Jumat lalu lebih disebabkan oleh ekspektasi pasar terhadap pemotongan suku bunga The Fed. Namun, beberapa faktor eksternal seperti ancaman perang dagang dan faktor internal berupa defisit anggaran pemerintah tetap menjadi risiko bagi nilai tukar rupiah ke depannya.