Korupsi di Indonesia: Ancaman Sistemik yang Membutuhkan Lebih dari Sekadar Hukuman Isolasi
Korupsi di Indonesia: Ancaman Sistemik yang Membutuhkan Lebih dari Sekadar Hukuman Isolasi
Indonesia tengah menghadapi krisis korupsi yang sistemik dan meluas, mengancam stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik. Berbagai kasus korupsi besar dengan nilai kerugian negara yang fantastis terus bermunculan, menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan internal. Ungkapan Presiden Senegal, Bassirou Diomaye Diakhar Faye, yang menganjurkan para pemimpin untuk mengingat keluarga mereka saat dihadapkan pada godaan korupsi, merupakan pengingat penting tentang moralitas dan tanggung jawab publik. Namun, realita di Indonesia menunjukkan bahwa hukuman konvensional, seperti isolasi di pulau terpencil, belum cukup efektif untuk memberantas praktik korupsi yang merajalela ini.
Kasus-kasus korupsi yang baru-baru ini terungkap menunjukkan beragam modus operandi dan sektor yang terlibat. Berikut beberapa contohnya:
- Penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak: Kasus pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 968,5 triliun selama periode 2018-2023, dengan kerugian harian konsumen mencapai Rp 47 miliar.
- Penipuan Emas Antam: Meskipun awalnya dikabarkan melibatkan 109 ton emas palsu, Kejaksaan Agung menyatakan potensi kerugian negara hanya sekitar Rp 1 triliun, terkait penjualan emas ilegal.
- Penipuan Minyak Goreng MinyaKita: Pengurangan takaran isi minyak goreng MinyaKita menyebabkan kerugian konsumen mencapai Rp 731 miliar per bulan.
- Pengurangan Mutu Proyek Infrastruktur: Kasus Jalan Layang Tol Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) menunjukkan pengurangan volume beton untuk meraup keuntungan Rp 510 miliar lebih, mengancam keselamatan pengguna jalan.
- Korupsi Timah: Kasus korupsi timah senilai Rp 300 triliun melibatkan kerusakan lingkungan dan kerugian keuangan PT Timah.
- Kredit Fiktif LPEI: Kerugian negara akibat kredit fiktif dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mencapai US$ 60 juta atau sekitar Rp 900 miliar.
- Iklan Fiktif Bank Pembangunan Daerah Jabar-Banten: Kerugian negara mencapai Rp 222 miliar akibat selisih pembayaran iklan dan praktik kickback.
Deretan kasus ini menunjukkan betapa beragam dan masifnya korupsi di Indonesia. Kejadian ini bukan sekadar kejahatan individu, melainkan menunjukkan kelemahan sistemik dalam tata kelola pemerintahan, pengawasan, dan penegakan hukum. Meskipun Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen yang kuat dalam memberantas korupsi, hanya mengandalkan hukuman isolasi tidaklah cukup. Perlu pendekatan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.
Langkah-langkah yang diperlukan meliputi reformasi birokrasi yang menyeluruh, peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, penguatan lembaga antikorupsi, dan implementasi Undang-Undang Perampasan Aset yang efektif untuk merampas kekayaan hasil korupsi. Selain itu, perlu peningkatan kesadaran publik tentang bahaya korupsi dan peran aktif masyarakat dalam mengawasi pemerintahan. Pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen dan upaya bersama dari seluruh elemen masyarakat, bukan hanya mengandalkan hukuman isolasi yang mungkin hanya bersifat simbolis.
Meminjam kata-kata Mochtar Lubis, membersihkan birokrasi dari unsur-unsur korup merupakan kunci untuk keluar dari krisis ini. Upaya ini membutuhkan perubahan paradigma, dari sekadar fokus pada hukuman kepada pencegahan dan perbaikan sistem yang lebih menyeluruh.