Kecelakaan Maut di Puncak Jaya: Jumlah Peserta Pendakian yang Berlebihan Diduga Jadi Faktor Utama

Kecelakaan Maut di Puncak Jaya: Jumlah Peserta Pendakian yang Berlebihan Diduga Jadi Faktor Utama

Tragedi jatuhnya korban jiwa dalam pendakian Gunung Carstensz, Papua Tengah, kembali mengingatkan kita pada pentingnya manajemen risiko dalam kegiatan petualangan ekstrem. Dua pendaki berpengalaman, Lilie Wijayanti dan Elsa Laksono, keduanya berusia 60 tahun, ditemukan meninggal dunia pada Sabtu, 1 Maret 2025, akibat hipotermia saat proses penurunan dari puncak Puncak Jaya. Kejadian ini menimbulkan keprihatinan dan mengundang pertanyaan kritis mengenai aspek keselamatan dalam pendakian gunung yang terkenal dengan medan teknikalnya yang menantang tersebut.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, rombongan pendaki berjumlah 15 orang, termasuk lima porter. Fandhi Achmad, seorang pendaki profesional dengan puluhan kali pengalaman menaklukkan Puncak Jaya, menyoroti besarnya jumlah peserta sebagai faktor yang berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan. Menurut Fandhi, pendakian di Gunung Carstensz yang sarat dengan tantangan teknikal idealnya hanya melibatkan maksimal 10 pendaki dalam satu kelompok. Pembatasan jumlah peserta ini, tegasnya, bertujuan untuk meminimalisir risiko dan menjamin keselamatan seluruh anggota tim. Ia membandingkan karakteristik Gunung Carstensz dengan gunung-gunung lain di Indonesia yang cenderung lebih memungkinkan pendakian massal, seperti Gunung Semeru atau Rinjani. "20 orang itu sudah tidak benar," ujarnya, "Carstensz itu teknikal. Paling efisien itu 10 pendaki."

Lebih lanjut, Fandhi memaparkan betapa menantang dan berbahayanya medan di Puncak Jaya. Ia menyebutkan tiga titik kritis yang memerlukan kehati-hatian ekstra. Pertama, Burma Bridge, jalur penyeberangan yang mengharuskan pendaki menyeberangi jurang hanya dengan bantuan tali pengaman. Proses penyeberangan ini memakan waktu 10-15 menit per orang, dan dapat lebih lama lagi jika pendaki mengalami rasa takut. Bayangkan waktu yang terbuang jika jumlah rombongan mencapai 20 orang. Kemacetan di titik-titik kritis ini berpotensi memperlambat perjalanan dan meningkatkan resiko hipotermia, seperti yang dialami oleh korban. "Kemudian ada dua celah lagi, itu celahnya kecil bawahnya jurang. Pendaki harus agak lompat di sana," tambahnya. Fandhi menekankan bahwa kesulitan di jalur-jalur ini tidak dapat disimulasikan sepenuhnya dalam pelatihan. Belum lagi faktor risiko tambahan berupa batuan yang rawan runtuh.

Selain itu, Fandhi juga menyoroti pentingnya pelatihan dan penguasaan teknik tali-temali yang memadai bagi para pendaki. Minimal tiga bulan pelatihan, menurutnya, sangatlah diperlukan untuk menghadapi tantangan di Puncak Jaya. Ia menyarankan agar rombongan besar dibagi menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil untuk meminimalkan risiko. "Satu kelompok 20 orang itu enggak benar, harusnya dibagi 2-3 kelompok, kecuali semuanya porter (pemandu), itu enggak masalah," tegasnya. Kejadian ini menjadi pengingat penting bagi para pendaki untuk selalu memprioritaskan keselamatan, mempertimbangkan kapasitas medan, dan mematuhi pedoman keselamatan yang telah ditetapkan. Pentingnya perencanaan pendakian yang matang dan komprehensif, termasuk pembatasan jumlah peserta sesuai dengan tingkat kesulitan medan, harus menjadi pertimbangan utama guna mencegah terjadinya tragedi serupa di masa mendatang.