Revisi UU TNI Menuai Kritik Keras dari Koalisi Sipil: Ancaman Dwifungsi dan Perluasan Peran Militer
Revisi UU TNI Tuai Kontroversi: Koalisi Sipil Tolak Keras Perluasan Peran Militer dan Kembalinya Dwifungsi
Pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi Undang-Undang TNI kepada Komisi I DPR RI. Langkah ini, alih-alih disambut positif, justru memicu reaksi keras dari Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga terkemuka, termasuk SETARA Institute, Imparsial, Elsam, WALHI, Kontras, dan YLBHI. Koalisi tegas menolak revisi tersebut, menganggap DIM yang diajukan masih menyimpan sejumlah pasal bermasalah yang berpotensi memicu kembalinya doktrin dwifungsi TNI dan meningkatkan militerisme di Indonesia.
Salah satu poin utama keberatan Koalisi Masyarakat Sipil adalah perluasan jangkauan penempatan personel TNI di jabatan sipil. Dalam DIM yang diajukan, terdapat penambahan lima kementerian/lembaga, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung. Koalisi menilai hal ini sebagai bentuk nyata dari upaya pemulihan dwifungsi TNI yang telah lama ditolak oleh berbagai elemen masyarakat. Mereka menekankan bahwa peran TNI sebagai alat pertahanan negara harus tetap dijaga dan tidak boleh terkontaminasi oleh tugas-tugas yang semestinya dijalankan oleh sipil. Kejaksaan Agung, misalnya, adalah lembaga penegak hukum yang independen, dan keterlibatan TNI di dalamnya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan melemahkan penegakan hukum.
Selain perluasan jabatan sipil, Koalisi juga menyoroti perluasan operasi militer selain perang (OMSP) yang tercantum dalam DIM revisi UU TNI. Penambahan ayat dalam pasal terkait OMSP, khususnya yang berkaitan dengan penanganan masalah narkotika, dinilai berlebihan dan berpotensi melampaui batas kewenangan TNI. Hal ini, menurut Koalisi, justru dapat mengaburkan garis batas antara tugas militer dan sipil, sekaligus membuka peluang penyalahgunaan wewenang. Koalisi khawatir, perluasan OMSP akan mengarah pada peningkatan intervensi militer di sektor-sektor non-militer dan melemahkan peran institusi sipil yang berkompeten.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, membenarkan adanya usulan pasal-pasal krusial dalam DIM tersebut, termasuk revisi Pasal 7, Pasal 47, dan Pasal 53. Ia menjelaskan penambahan ayat dalam Pasal 7, antara lain, meliputi bantuan TNI dalam menanggulangi ancaman siber, melindungi WNI di luar negeri, dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika. Sementara, revisi Pasal 47 mengatur tentang pensiun dini atau pengunduran diri prajurit yang menduduki jabatan sipil, serta perluasan kementerian/lembaga yang dapat ditempati prajurit aktif.
Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan penolakan keras terhadap DIM revisi UU TNI yang telah diserahkan kepada DPR. Mereka menyerukan kepada DPR untuk mempertimbangkan secara serius catatan kritis yang telah disampaikan dan menghindari langkah-langkah yang berpotensi merusak prinsip-prinsip demokrasi dan mengancam supremasi sipil atas militer. Koalisi mendesak DPR untuk melibatkan lebih banyak pihak, termasuk masyarakat sipil, dalam proses pembahasan revisi UU TNI untuk memastikan revisi tersebut selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum.
Kesimpulan: Revisi UU TNI yang diajukan pemerintah menimbulkan kekhawatiran serius dari berbagai kalangan, khususnya terkait dengan potensi kembalinya dwifungsi TNI dan perluasan peran militer yang dapat menggerus supremasi sipil. Koalisi Masyarakat Sipil menuntut transparansi dan partisipasi publik yang lebih luas dalam proses pembahasan revisi tersebut untuk mencegah terulangnya sejarah kelam dwifungsi TNI.