Mispersepsi dan Eksploitasi: Menelusuri Sejarah dan Realita Gunung Kemukus

Mispersepsi dan Eksploitasi: Menelusuri Sejarah dan Realita Gunung Kemukus

Gunung Kemukus, sebuah situs bersejarah di Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah, telah lama terbebani citra negatif sebagai tempat praktik prostitusi, yang populer dengan sebutan 'mountain sex'. Isu ini telah beredar luas dan mencoreng reputasi kawasan tersebut selama bertahun-tahun. Namun, di balik stigma negatif itu, terdapat sejarah dan konteks budaya yang perlu dipahami untuk mengurai kompleksitas permasalahan yang terjadi.

Menurut Wijanto, penanggung jawab Gunung Kemukus, misinterpretasi atas sebuah pepatah Jawa menjadi salah satu akar masalah. Pepatah tersebut, " sopo sing pengin urip mulyo moko kowe ziarah makan Samudro koyo-koyo nekani demenen ", yang bermakna "siapa yang ingin hidup sukses, maka berziarahlah ke makam Pangeran Samudro seakan-akan mengunjungi kekasih", telah disalahartikan dan dikaitkan dengan praktik hubungan seksual di lokasi tersebut. Interpretasi keliru ini diperparah oleh kisah legenda Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan, yang menambahkan lapisan rumit pada persepsi masyarakat.

Legenda tersebut menceritakan Pangeran Samudro, putra Brawijaya V, raja terakhir Majapahit yang menyebarkan agama Islam di Karanganyar, jatuh sakit di Gunung Kemukus dalam perjalanan kembali ke Demak. Kehadiran Dewi Ontrowulan, ibu tiri Pangeran Samudro, yang menyusul setelah mendengar kabar tersebut, menciptakan narasi perselingkuhan yang kemudian berkembang menjadi cerita rakyat. Kisah ini, meskipun masih memerlukan verifikasi historis yang lebih mendalam, telah dimanfaatkan untuk melegitimasi praktik-praktik yang menyimpang di Gunung Kemukus.

Konon, cerita tentang perselingkuhan Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan telah dimanipulasi untuk meyakinkan masyarakat bahwa hubungan seksual di Gunung Kemukus akan mengabulkan hajat. Hal ini diperkuat oleh penyebaran informasi dari mulut ke mulut (getuk tular), yang tanpa disadari ikut mempromosikan citra negatif Gunung Kemukus sebagai tempat prostitusi. Meskipun Wijanto menyatakan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang masih mempercayai hal tersebut, dampaknya tetap terasa signifikan.

Sayangnya, persepsi negatif ini telah berdampak nyata berupa eksploitasi seksual, khususnya terhadap perempuan di bawah umur. Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Gunung Kemukus melibatkan seorang muncikari yang telah diamankan oleh Polres Sragen. Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana mispersepsi budaya dapat dimanfaatkan untuk melanggengkan praktik ilegal dan merugikan, khususnya bagi kelompok rentan.

Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif mengenai sejarah dan budaya Gunung Kemukus sangat penting untuk mengatasi masalah ini. Upaya edukasi dan klarifikasi informasi yang akurat diperlukan untuk memperbaiki citra Gunung Kemukus dan mencegah eksploitasi seksual di masa mendatang. Selain itu, penegakan hukum yang tegas juga menjadi kunci untuk memberantas praktik TPPO dan melindungi korban. Menghilangkan stigma negatif Gunung Kemukus memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan penegak hukum.

Kesimpulannya, Gunung Kemukus bukanlah sekadar tempat praktik prostitusi seperti yang selama ini dicitrakan. Permasalahan yang terjadi adalah hasil dari misinterpretasi sejarah dan budaya, yang kemudian dimanfaatkan untuk tujuan eksploitasi. Untuk membangun citra positif dan melindungi masyarakat, diperlukan upaya bersama untuk meluruskan persepsi yang salah dan memberantas praktik-praktik ilegal yang terjadi di kawasan tersebut.