Menyucikan Kasur dari Najis: Panduan Praktis Berbasis Fiqih Syafi'iyah
Menyucikan Kasur dari Najis: Panduan Praktis Berbasis Fiqih Syafi'iyah
Kontaminasi kasur oleh najis, seperti air kencing anak atau hewan peliharaan, merupakan permasalahan umum yang membutuhkan solusi efektif dan sesuai syariat. Artikel ini menyajikan panduan praktis membersihkan najis pada kasur berdasarkan pemahaman fiqih Syafi'iyah, membedakan antara najis 'ainiyah dan najis hukmiyah serta menjelaskan langkah-langkah penyuciannya.
Dalam mazhab Syafi'i, terdapat perbedaan signifikan antara najis 'ainiyah dan najis hukmiyah. Najis 'ainiyah adalah najis yang masih kasat mata, ditandai oleh keberadaan warna, bau, atau rasa yang spesifik. Sementara itu, najis hukmiyah merupakan najis yang telah hilang wujudnya, tidak lagi memiliki ciri-ciri visual maupun sensoris tersebut. Air kencing, misalnya, termasuk najis 'ainiyah ketika masih basah, namun berubah menjadi najis hukmiyah setelah mengering.
Proses penyucian pun berbeda untuk kedua jenis najis ini. Mengacu pada kitab Fathul Mu'în bi Syarhi Qurratil 'Ain bi Muhimmâtid Dîn karya Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari, penyucian najis 'ainiyah mengharuskan pembasuhan hingga warna, bau, dan rasa benar-benar hilang. Sedangkan najis hukmiyah cukup disucikan dengan menuangkan air sekali di area yang terkontaminasi.
Berikut langkah-langkah praktis membersihkan najis pada kasur:
1. Mengubah Najis 'Ainiyah Menjadi Najis Hukmiyah:
Langkah awal adalah mentransformasi najis 'ainiyah menjadi najis hukmiyah. Hal ini dilakukan dengan membersihkan najis tersebut sampai tidak terlihat warna, bau, dan rasanya. Gunakan sedikit air untuk menggosok dan membersihkan area yang terkena najis. Setelah itu, biarkan area tersebut mengering. Meskipun sudah kering, area tersebut masih dianggap najis secara hukum.
2. Penyucian dengan Menuangkan Air:
Setelah najis 'ainiyah dihilangkan, langkah selanjutnya adalah menyucikan kasur dengan menuangkan air secukupnya ke area yang telah ditandai. Proses ini akan menghilangkan status najis pada kasur. Kasur tetap suci meskipun air menggenang atau meresap ke dalam kasur. Metode ini juga berlaku untuk permukaan lain seperti lantai ubin, sofa, bantal, atau tanah.
Berikut kutipan dari Fathul Mu'în yang menjelaskan hal ini:
لَوْ أَصَابَ الأَرْضَ نَحْوُ بَوْلٍ وَجَفَّ، فَصُبَّ عَلى مَوْضِعِهِ مَاءٌ فغَمره طهُرَ ولو لمْ يَنْصُبْ، أي: يغُورُ، سواء كانت الأرضُ صُلبةً أم رَخْوَةً
Artinya: "Seandainya ada tanah yang terkena najis semisal air kencing lalu mengering, lalu air dituangkan di atasnya hingga menggenang, maka sucilah tanah tersebut walaupun tak terserap ke dalamnya, baik tanah itu keras ataupun gembur."
Penjelasan ini berlaku untuk najis mutawasithah, seperti air kencing anak di atas dua tahun, kotoran hewan, darah, muntahan, dan feses. Namun, terdapat pengecualian untuk air kencing bayi laki-laki di bawah dua tahun yang hanya mengonsumsi ASI. Air kencing ini termasuk najis mukhaffafah dan cukup disucikan dengan memercikkan air. Tidak diperlukan air yang mengalir, namun pastikan percikan kuat dan volume air lebih banyak daripada air kencing bayi.
Jika air kencing bayi telah mengering, cukup satu kali kucuran air untuk menyucikan permukaan yang terkena najis.