Keraguan Mitra Ojol Karanganyar terhadap Realisasi THR Lebaran 2025

Keraguan Mitra Ojol Karanganyar terhadap Realisasi THR Lebaran 2025

Sejumlah driver ojek online (ojol) di Kabupaten Karanganyar masih menyikapi dengan skeptis janji pemerintah terkait pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2025. Meskipun Menteri Ketenagakerjaan telah menerbitkan Surat Edaran (SE) pada Selasa, 11 Maret 2025, yang mengatur pemberian THR bagi driver ojol dengan kriteria tertentu sebesar 20 persen dari rata-rata pendapatan bersih selama 12 bulan terakhir, keraguan ini muncul karena pengalaman sebelumnya yang dianggap tidak konsisten dan merata.

Ihsan Nur Kholis, seorang driver Gojek yang telah delapan tahun berkecimpung di dunia ojol, mengungkapkan keraguannya. Ia menyatakan belum ada kejelasan perhitungan dari pihak aplikator terkait besaran THR yang akan diterima. “Saya masih ragu, sebelum ada hitungan yang jelas dari aplikator saya belum percaya. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, sering dijanjikan THR, tapi yang keluar malah bonus saat bekerja di hari raya,” ungkap Ihsan. Meskipun Gojek telah memberikan notifikasi program ‘Tali Asih Hari Raya’ melalui aplikasi, Ihsan dan rekan-rekannya tetap bersikap hati-hati. Notifikasi tersebut menyebutkan pemberian bonus uang tunai menjelang Idul Fitri untuk mitra dengan kriteria tertentu. Namun, Ihsan menambahkan, “Teman-teman di sini sama, tidak percaya. Kalau nanti benar-benar terealisasi, kami terima kasih dan sangat bersyukur.”

Sentimen serupa diungkapkan Muhktamil, seorang driver Gojek dengan pengalaman 11 tahun. Ia pernah menerima tambahan penghasilan menjelang Lebaran, namun bukan dalam bentuk THR, melainkan Bonus Hari Raya (BHR) berupa uang tunjanggan dan bingkisan senilai Rp 500.000,- pada periode 2015 hingga sebelum pandemi Covid-19. Namun, ia menekankan bahwa penerima manfaat BHR tersebut bersifat terbatas dan hanya diberikan kepada driver pilihan. “Masalahnya bukan hanya THR, tapi sistem yang diterapkan aplikator. Potongan, hapus lot, hapus aceng, itu berpengaruh banget terhadap pendapatan driver reguler,” ungkap Muhktamil, menyoroti permasalahan lain yang dihadapi para driver ojol selain ketidakpastian THR.

Pengalaman para driver ojol di Karanganyar ini menggambarkan permasalahan yang lebih luas tentang transparansi dan keadilan dalam sistem distribusi pendapatan di industri ojek online. Ketidakpastian mengenai realisasi THR dan pengalaman sebelumnya yang kurang memuaskan menjadi faktor utama munculnya keraguan dan skeptisisme di kalangan para driver. Mereka berharap pemerintah dan pihak aplikator dapat memberikan kepastian dan transparansi yang lebih baik terkait kebijakan THR ini, serta memastikan implementasi yang adil dan merata bagi seluruh driver ojol.

Kesimpulan: Permasalahan THR bagi driver ojol di Karanganyar bukanlah sekadar soal uang, tetapi juga menyangkut kepercayaan dan transparansi dalam sistem kerja. Ketidakpastian dan pengalaman buruk di masa lalu telah membentuk sikap skeptis di kalangan para driver, mengingatkan pentingnya perbaikan sistem dan komunikasi yang lebih baik antara aplikator dan para mitranya.