Studi Global Ungkap Dampak Perubahan Iklim Ekstrem: Jakarta dan Hangzhou Terdampak Terparah
Studi Global Ungkap Dampak Perubahan Iklim Ekstrem: Jakarta dan Hangzhou Terdampak Terparah
Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh WaterAid dan dikutip oleh Reuters pada Rabu (12/03/2025) mengungkap dampak signifikan perubahan iklim ekstrem terhadap kota-kota besar dunia. Studi yang menganalisis data cuaca selama 42 tahun dari lebih dari 100 kota terpadat di dunia ini menunjukkan Jakarta dan Hangzhou sebagai dua kota yang mengalami dampak paling parah akibat fenomena climate whiplash. Climate whiplash sendiri didefinisikan sebagai peralihan cepat dan ekstrem antara kondisi banjir dan kekeringan, atau sebaliknya, yang merupakan konsekuensi dari gangguan siklus air akibat perubahan iklim.
Di Hangzhou, Tiongkok, tercatat lebih dari 60 hari suhu ekstrem tinggi sepanjang tahun 2024. Kondisi panas ekstrem ini kemudian berganti secara drastis dengan banjir besar yang memaksa puluhan ribu penduduk mengungsi. Situasi serupa, meskipun dengan karakteristik yang berbeda, juga dialami Jakarta, Indonesia, yang mengalami siklus ekstrem antara kekeringan dan banjir yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat dan infrastruktur kota. Studi ini menyoroti kerentanan kota-kota besar terhadap dampak perubahan iklim yang semakin intensif dan tidak terprediksi.
Tidak hanya Jakarta dan Hangzhou, studi ini juga mengidentifikasi sejumlah kota lain yang mengalami fenomena climate whiplash. Sekitar 15 persen dari kota-kota yang diteliti mengalami fluktuasi ekstrem antara kondisi kering dan basah. Kota-kota tersebut antara lain Dallas (Amerika Serikat), Shanghai (Tiongkok), dan Baghdad (Irak). Michael Singer, penulis studi dari Water Research Institute di Universitas Cardiff, menekankan bahwa respons setiap kota terhadap kenaikan suhu global berbeda-beda, terlepas dari tingkat kekayaan, infrastruktur, atau kondisi sosial ekonominya. Hal ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim merupakan tantangan global yang kompleks dan membutuhkan solusi yang komprehensif.
Lebih jauh, studi tersebut menemukan bahwa 25 persen kota terpadat di dunia menghadapi dampak ekstrem perubahan iklim, meskipun dengan manifestasi yang beragam. Kolombo (Sri Lanka) dan Mumbai (India), misalnya, mengalami peningkatan curah hujan yang signifikan, sementara Kairo (Mesir) dan Hong Kong menunjukkan tren kekeringan yang semakin intensif. Asia Selatan dan Asia Tenggara, menurut studi ini, menghadapi tren peningkatan curah hujan yang signifikan, sementara Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara mengalami tren kekeringan yang semakin mengkhawatirkan. Meskipun beberapa kota telah berinvestasi dalam infrastruktur untuk mengelola kelangkaan air atau mengurangi kerusakan akibat banjir, Singer memperingatkan bahwa upaya adaptasi perlu ditingkatkan secara signifikan untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks di masa mendatang.
Kesimpulannya, studi ini memberikan gambaran yang mengkhawatirkan tentang dampak perubahan iklim terhadap kota-kota besar di seluruh dunia. Jakarta dan Hangzhou hanyalah contoh dari banyak kota yang terdampak parah. Penting bagi pemerintah dan komunitas global untuk meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk mencegah dampak yang lebih buruk di masa depan. Investasi dalam infrastruktur yang tangguh terhadap perubahan iklim dan strategi manajemen sumber daya air yang berkelanjutan menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ini.