Gejolak Pasar Saham Indonesia: Ancaman Tarif AS dan Dinamika Global Mengancam Pertumbuhan
Gejolak Pasar Saham Indonesia: Ancaman Tarif AS dan Dinamika Global Mengancam Pertumbuhan
Pasar saham Indonesia tengah menghadapi tekanan signifikan akibat ketidakpastian ekonomi global dan aksi jual investor asing yang masif. Penguatan dolar Amerika Serikat, gejolak geopolitik internasional, dan kinerja emiten yang mengecewakan telah mendorong investor untuk mengurangi investasi di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Situasi ini telah memicu kekhawatiran akan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi domestik.
Dimas Ardhinugraha, Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), menjelaskan bahwa stabilitas nilai tukar rupiah dan pelonggaran likuiditas menjadi faktor krusial dalam memulihkan sentimen pasar. Secara historis, pasar saham Indonesia menunjukkan kinerja positif ketika rupiah menguat dan likuiditas pasar melonggar. Sebaliknya, pasar obligasi menunjukkan ketahanan yang lebih baik, dengan investor asing mulai melirik Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia. Hal ini didorong oleh sinyal dari Bank Indonesia (BI) yang masih mempertimbangkan pemangkasan suku bunga sebagai opsi kebijakan moneter.
Dampak Perang Tarif AS dan Strategi Diversifikasi
Pengumuman kebijakan tarif baru oleh Amerika Serikat (AS), yang mencakup daftar negara, jenis barang, besaran tarif, dan tanggal efektifnya, telah meningkatkan ketidakpastian di pasar global. Meskipun Indonesia tidak terdampak secara langsung oleh tarif baru ini, risiko dampak tidak langsung berupa pelemahan perdagangan global dan volatilitas pasar tetap perlu diwaspadai. Ekspor baja Indonesia ke AS, yang hanya mencapai 0,07 persen dari total ekspor Indonesia pada tahun 2023, relatif kecil. Namun, potensi risiko tarif resiprokal dinilai terbatas, mengingat rata-rata tarif antara Indonesia dan AS relatif seimbang, sekitar 4 persen.
Berbeda dengan dampak perang tarif AS terhadap China pada tahun 2018, dampaknya diperkirakan lebih terbatas tahun ini. Hal ini disebabkan oleh strategi diversifikasi perdagangan yang dilakukan China, mengurangi ketergantungannya pada AS. Kontribusi AS terhadap total ekspor China turun dari 20 persen pada tahun 2016 menjadi 13 persen pada tahun 2023, sementara ekspor China ke negara berkembang meningkat dari 31 persen menjadi 41 persen. Kebijakan pemerintah China yang lebih suportif terhadap sektor swasta domestik juga berkontribusi terhadap hal ini.
Kebijakan Moneter The Fed dan BI: Faktor Penentu Sentimen Pasar
Kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) dan Bank Indonesia (BI) menjadi faktor penting yang terus dipantau pasar. Penurunan suku bunga acuan oleh The Fed pada Desember lalu, diikuti oleh pemangkasan BI Rate oleh BI pada Januari, menunjukkan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, kedua bank sentral tersebut kini lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan selanjutnya. The Fed mempertimbangkan inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja sebelum melakukan pemangkasan suku bunga lebih lanjut. Sementara itu, BI menjaga keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan dengan mempertahankan BI Rate di 5,75 persen. Selain itu, BI juga melonggarkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dengan mengurangi Giro Wajib Minimum (GWM) hingga 5 persen untuk sektor prioritas seperti perumahan, konstruksi, dan pertanian.
Kesimpulannya, pasar saham Indonesia menghadapi tantangan kompleks yang membutuhkan strategi yang tepat dari pemerintah dan pelaku pasar untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global. Pemantauan ketat terhadap perkembangan ekonomi global dan kebijakan moneter menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini.