Korupsi Proyek Jalan Layang Tol MBZ: Hukuman Ringan Tak Seimbang dengan Kerugian Negara Rp510 Miliar

Korupsi Proyek Jalan Layang Tol MBZ: Hukuman Ringan Tak Seimbang dengan Kerugian Negara Rp510 Miliar

Kasus korupsi proyek pembangunan Jalan Layang Tol Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) di ruas Jakarta-Cikampek telah memasuki babak akhir persidangan. Proyek infrastruktur vital ini telah menimbulkan kerugian negara yang signifikan, mencapai angka Rp 510 miliar akibat penyimpangan kualitas dan volume pekerjaan. Lebih ironis lagi, dampak dari korupsi ini tidak hanya terbatas pada kerugian finansial, tetapi juga berimbas pada fungsi jalan layang itu sendiri yang kini tak mampu menampung kendaraan berat seperti tronton dan trailer, sebuah fakta yang mempertanyakan kualitas pengawasan dan perencanaan proyek. Kejagung telah berhasil membongkar praktek korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi dari berbagai perusahaan kontraktor dan pengelola jalan tol.

Para terdakwa, yang terdiri dari eks Direktur Utama Jasa Marga Jalan Layang Cikampek (JJC), Djoko Dwijono; Ketua Panitia Lelang PT JJC, Yudhi Mahyudin; Direktur Operasional PT Bukaka Teknik Utama, Sofiah Balfas; eks Staf Tenaga Ahli Jembatan PT LAPI Ganeshatama Consulting, Tony Budianto Sihite; dan Kepala Divisi III PT Waskita Karya, Dono Parwoto, terbukti melakukan berbagai pelanggaran hukum dalam proses pembangunan jalan layang tersebut. Bukti-bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan kesaksian ahli dari BPKP mengungkap manipulasi spesifikasi material, khususnya steel box girder dan beton. Desain awal steel box girder berbentuk V dengan ukuran 2,80 meter x 2,05 meter dan bentangan 30 meter, secara sengaja diubah menjadi bentuk U dengan ukuran yang lebih kecil dan bentangan yang lebih panjang, mengakibatkan struktur jembatan menjadi lemah dan tidak aman untuk dilalui kendaraan golongan III hingga V (truk tronton dan trailer).

Selain itu, mutu beton yang digunakan juga jauh di bawah standar yang ditetapkan. Dokumen spesifikasi mensyaratkan beton mutu K-500 dengan kuat tekan 41,5 MPa, namun yang digunakan hanya mencapai 20-25 MPa, jauh di bawah standar minimal 27 MPa yang dibutuhkan agar jalan layang tersebut dapat dilalui kendaraan berat. Ahli dari BPKP, Kristianto, menegaskan dalam persidangan bahwa berdasarkan hasil pengujian, jalan layang tersebut tidak aman dan nyaman untuk dilalui kendaraan golongan III ke atas. Rincian kerugian negara yang diungkap BPKP meliputi kerugian akibat kekurangan volume pekerjaan struktur beton (Rp 347.797.997.376,90), kekurangan mutu beton (Rp 19.537.521.412,50), dan kekurangan pekerjaan steel box girder (Rp 142.749.742.699), yang totalnya mencapai Rp 510.085.261.485,41.

Meskipun kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah, hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa terbilang ringan. Djoko dan Yudhi dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 250 juta, sedangkan Sofiah dan Tony divonis empat tahun penjara dengan denda yang sama. Dono, yang masih menjalani proses persidangan, masih menunggu vonis. Ringannya hukuman ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas penegakan hukum terhadap kasus korupsi besar yang berdampak luas pada infrastruktur publik dan keselamatan masyarakat. Perbedaan hukuman antara terdakwa juga menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan proporsionalitas sanksi yang diterapkan.

Kasus ini menjadi sorotan tajam, bukan hanya karena besarnya kerugian negara, tetapi juga karena implikasi terhadap keselamatan publik. Jalan layang yang seharusnya menjadi infrastruktur vital untuk menunjang perekonomian justru menjadi bukti nyata betapa merugikannya korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Ke depan, diperlukan peningkatan pengawasan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang lebih tegas untuk mencegah terulangnya kasus serupa dan melindungi kepentingan publik.