Stigma dan Kurangnya Edukasi Epilepsi: Tantangan Bagi Penderita dan Upaya Advokasi Nurhaya Nurdin

Stigma dan Kurangnya Edukasi Epilepsi: Tantangan Bagi Penderita dan Upaya Advokasi Nurhaya Nurdin

Nurhaya Nurdin S.Kep.,Ns.,MN.,MPH, seorang dosen di Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin, sekaligus seorang penderita epilepsi (ODE), mengungkapkan realita pahit yang dihadapi banyak ODE di Indonesia. Kurangnya edukasi publik tentang epilepsi telah menciptakan stigma negatif yang mendalam, mengakibatkan penderita seringkali menjadi objek cemoohan dan diskriminasi. Pengalaman pribadi Aya, sapaan akrabnya, menggambarkan bagaimana stigma tersebut berdampak nyata dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari ejekan teman semasa kecil hingga penolakan dari lingkungan sekitar yang menganggap epilepsi sebagai penyakit menular.

Ia menjelaskan bahwa kesalahpahaman mengenai epilepsi masih sangat umum terjadi, terutama di kalangan masyarakat dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi yang rendah. Mitos-mitos seputar epilepsi, seperti anggapan bahwa penyakit ini menular melalui kontak fisik atau cairan tubuh penderita saat kejang, masih dipercaya luas. Bahkan, pertanyaan umum mengenai sifat herediter epilepsi pun seringkali muncul, menunjukkan betapa minimnya pemahaman masyarakat tentang kondisi medis ini. Lebih jauh lagi, Aya menyoroti bagaimana respons yang salah dari lingkungan sekitar dapat memperburuk situasi. Banyak orang yang ingin membantu penderita epilepsi saat kejang, namun justru tidak tahu cara yang tepat untuk memberikan pertolongan, malah menimbulkan kecemasan tambahan bagi penderita dan keluarganya. Ketakutan akan 'menular' juga seringkali menjadi alasan di balik penolakan untuk membantu.

Upaya Mengatasi Stigma dan Meningkatkan Kesadaran

Melihat kondisi ini, Aya telah secara aktif berupaya untuk mengkampanyekan edukasi epilepsi sejak didiagnosis menderita epilepsi pada usia delapan tahun. Perjuangannya dimulai dari lingkungan terdekat, hingga kini ia mengintegrasikan edukasi epilepsi dalam pembelajaran mahasiswanya dan melakukan penyuluhan di berbagai sekolah. Tujuan utamanya adalah untuk mengubah persepsi masyarakat, agar ODE dapat diterima dan mendapatkan dukungan yang tepat. Ia menekankan pentingnya dua hal utama: pertama, menghilangkan stigma negatif yang melekat pada epilepsi, dan kedua, memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang cara menangani ODE saat kejang. Dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat dapat memberikan pertolongan yang tepat dan mencegah potensi bahaya yang dapat terjadi saat kejang epilepsi.

Pengalaman Pribadi Aya Sebagai Motivasi

Perjalanan Aya dalam melawan stigma epilepsi dimulai dari pengalaman pahit saat kecil, yang mana ia diejek dan dijauhi oleh teman-temannya karena penyakit yang dideritanya. Bahkan tetangganya sampai melarang anaknya untuk bermain dengannya. Pengalaman tersebut membuatnya bertekad untuk mengubah persepsi masyarakat tentang epilepsi. Meskipun telah melewati masa-masa sulit, ia mampu meraih prestasi akademik yang membanggakan, menyelesaikan pendidikan hingga jenjang S3. Keberhasilannya tersebut menjadi bukti nyata bahwa epilepsi bukanlah penghalang untuk meraih impian dan hidup sukses. Pengalaman pribadi Aya, yang dimulai dari kunjungan ke dukun hingga akhirnya mendapatkan diagnosis dan perawatan medis yang tepat dari dokter spesialis saraf, juga menjadi pelajaran penting akan pentingnya akses informasi dan perawatan medis yang tepat dan akurat.

Dengan kegigihannya, Aya telah berhasil mengubah persepsi lingkungan sekitarnya terhadap epilepsi. Kisah dan perjuangannya menjadi inspirasi bagi banyak ODE dan juga bagi masyarakat untuk lebih peduli dan memahami penderita epilepsi.

Kesimpulan

Kurangnya edukasi tentang epilepsi merupakan tantangan besar yang harus diatasi. Stigma negatif yang berkembang di masyarakat berdampak buruk bagi ODE, sehingga upaya edukasi yang intensif dan berkelanjutan menjadi sangat penting. Kisah inspiratif Aya Nurdin menjadi bukti nyata bahwa dengan edukasi dan advokasi yang tepat, stigma epilepsi dapat diatasi dan penderita dapat hidup dengan lebih bermartabat dan diterima di lingkungannya. Ia menyerukan pentingnya peran semua pihak, termasuk pemerintah, tenaga kesehatan, pendidik, dan masyarakat luas, dalam mengatasi stigma dan meningkatkan kesadaran tentang epilepsi.