Dua Puluh Sembilan Musisi Gugat UU Hak Cipta: Mencari Keadilan di Tengah Polemik Royalti
Dua Puluh Sembilan Musisi Gugat UU Hak Cipta: Mencari Keadilan di Tengah Polemik Royalti
Sejumlah musisi ternama Indonesia, berjumlah 29 orang, mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan yang terdaftar dengan nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025 dan didaftarkan pada 12 Maret 2025 ini dilatarbelakangi oleh polemik royalti dan izin penggunaan lagu yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi kerugian bagi para musisi. Para penggugat, yang di antaranya termasuk nama-nama besar seperti Armand Maulana, Ariel NOAH, Vina Panduwinata, Titi DJ, Judika, BCL, Rossa, Raisa, dan masih banyak lagi, menyatakan keresahan mereka atas beberapa pasal dalam UU Hak Cipta yang dinilai bermasalah dan berpotensi merugikan para pelaku industri musik.
Gugatan ini berfokus pada lima poin utama yang dianggap menimbulkan ambiguitas dan ketidakadilan. Pertama, para musisi mempersoalkan Pasal 9 Ayat 3 UU Hak Cipta terkait penggunaan komersial ciptaan dalam pertunjukan. Mereka meminta agar pasal tersebut dimaknai bahwa penggunaan komersial tetap mewajibkan pembayaran royalti, terlepas dari adanya izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Kedua, gugatan menyoroti Pasal 23 Ayat 5, meminta agar frasa “setiap orang” dimaknai sebagai orang atau badan hukum sebagai penyelenggara acara, dengan pengaturan pembayaran royalti yang fleksibel, baik sebelum maupun sesudah penggunaan komersial.
Ketiga, terkait Pasal 81, para musisi meminta agar MK menegaskan bahwa penggunaan karya berhak cipta secara komersial dalam pertunjukan tidak memerlukan izin langsung dari pencipta, asalkan royalti dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Keempat, gugatan mempertanyakan konstitusionalitas Pasal 87 Ayat 1, meminta agar pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait memiliki fleksibilitas dalam mekanisme pengumpulan royalti, baik secara kolektif maupun non-kolektif. Terakhir, mereka menyatakan Pasal 113 Ayat 2 huruf f bertentangan dengan UUD 1945 dan meminta agar pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum.
Para musisi menjabarkan beberapa kasus yang menjadi dasar gugatan mereka. Di antaranya adalah kasus larangan Once Mekel menyanyikan lagu Dewa 19, gugatan terhadap Agnez Mo senilai Rp 1,5 miliar, larangan The Groove menyanyikan lagu ciptaan Rieka Roeslan, serta kasus Sammy Simorangkir dan Badai dari Kerispatih. Mereka merasa pasal-pasal yang dipermasalahkan telah menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda, menciptakan ketidakpastian hukum, dan menimbulkan kecemasan akan potensi tuntutan hukum yang merugikan para musisi. Ketidakjelasan mengenai kewajiban memperoleh izin langsung dari pencipta atau melalui LMK, serta ambiguitas mengenai siapa yang bertanggung jawab atas pembayaran royalti (musisi atau penyelenggara acara), menjadi poin krusial yang dipertanyakan.
Para penggugat menekankan bahwa ketidakpastian hukum ini menimbulkan beban administratif dan finansial yang signifikan bagi para musisi. Mereka berharap Mahkamah Konstitusi dapat memberikan kepastian hukum yang lebih jelas dan melindungi hak-hak para musisi di tengah perkembangan industri musik yang dinamis. Putusan MK atas gugatan ini sangat dinantikan, tidak hanya oleh para musisi yang mengajukan gugatan, tetapi juga oleh seluruh pelaku industri musik Indonesia, untuk menciptakan ekosistem yang lebih adil dan berkelanjutan.