Praperadilan LP3HI Ditolak PN Jaksel: Hakim Tegaskan Kewenangan Penyidikan Bukan Ranah Pengadilan

Praperadilan LP3HI Ditolak PN Jaksel: Batas Kewenangan Pengadilan dalam Kasus Dugaan Gratifikasi Deddy Sitorus

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Selasa (4/3/2025) menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Permohonan praperadilan tersebut terkait penghentian penyidikan dugaan gratifikasi yang melibatkan anggota DPR RI Fraksi PDIP, Deddy Yevri Hanteru Sitorus. Hakim tunggal, Afrizal Hady, dalam putusannya secara tegas menyatakan bahwa PN Jaksel tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK, termasuk dalam penetapan tersangka. Putusan ini menolak seluruh poin permohonan yang diajukan LP3HI.

Hakim Afrizal Hady menjelaskan bahwa permohonan LP3HI, khususnya poin yang meminta agar penyidikan dugaan gratifikasi terhadap Deddy Sitorus dilanjutkan dan yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka, keliru secara hukum. Beliau menekankan bahwa kewenangan untuk melakukan penyidikan, menyelesaikan penyidikan, dan menetapkan tersangka secara eksklusif berada di tangan lembaga penegak hukum yang berwenang, dalam hal ini KPK. Hakim berpendapat bahwa petitum pemohon tersebut cacat hukum dan karenanya tidak dapat dikabulkan. Putusan ini menggarisbawahi prinsip pemisahan kekuasaan dan batasan kewenangan masing-masing lembaga negara dalam sistem hukum Indonesia. Pengadilan, menurut hakim, berperan mengadili perkara yang telah diproses secara hukum oleh lembaga penegak hukum yang berwenang, bukan mengintervensi proses penegakan hukum itu sendiri.

Sebelumnya, LP3HI mengajukan praperadilan ini sebagai respon atas dugaan kegagalan KPK dalam mengusut laporan dari Lembaga Studi dan Advokasi Anti Korupsi (LSAK) terkait dugaan penerimaan gratifikasi oleh Deddy Sitorus. Laporan LSAK tersebut mengklaim bahwa Deddy diduga menerima gratifikasi dalam bentuk penyewaan helikopter sebanyak delapan kali selama masa kampanye Pemilu 2024 di Kalimantan Utara. Helikopter jenis EC130T2 milik PT SCA, disewa melalui PT MBA, dengan total biaya sewa mencapai sekitar US$ 192.000 atau setara dengan Rp 3.000.000.000,-. Pihak LP3HI menduga bahwa KPK secara sengaja menghentikan penyidikan atas kasus ini, sehingga mengajukan praperadilan untuk memaksa KPK melanjutkan proses hukum.

LP3HI mencantumkan sejumlah petitum dalam permohonan praperadilan mereka, antara lain meminta pengadilan untuk menyatakan sahnya permohonan praperadilan tersebut, menyatakan bahwa KPK telah melakukan penghentian penyidikan secara melawan hukum, dan memerintahkan KPK untuk menyelesaikan penyidikan dan menetapkan Deddy Sitorus sebagai tersangka. Namun, semua petitum tersebut ditolak oleh PN Jaksel. Putusan ini menegaskan kembali pentingnya prinsip due process dan penegakan hukum yang berlandaskan pada aturan dan prosedur yang berlaku. Kasus ini juga menyoroti kompleksitas dan tantangan dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam menangani kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat publik.