Kesenjangan Kesehatan Perempuan di Indonesia: Tantangan dan Upaya Menuju Kesetaraan Gender
Kesenjangan Kesehatan Perempuan di Indonesia: Tantangan dan Upaya Menuju Kesetaraan Gender
Prestasi perempuan Indonesia di berbagai sektor, mulai dari politik hingga bisnis, tak dapat dipungkiri. Namun, paradoksnya, kesetaraan gender, terutama dalam akses kesehatan, masih jauh dari ideal. Data menunjukkan masih banyak perempuan yang menghadapi hambatan signifikan dalam memperoleh layanan kesehatan yang layak. Hambatan ini meliputi akses terbatas ke fasilitas kesehatan, minimnya edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta kesulitan dalam merencanakan keluarga. Hal ini menjadi sorotan utama dalam Women National Conference bertema "Perempuan Sehat dan Berdaya, Menuju Kesetaraan Global", yang diselenggarakan Farid Nila Moeloek Society bersama United Nations Population Fund (UNFPA), dan didukung Takeda Pharmaceutical di Jakarta, 11 Maret lalu.
Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kementerian Kesehatan RI, dr. Maria Endang Sumiwi, memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan hak dasar kesehatan perempuan. Tantangan tersebut meliputi:
- Malnutrisi: Tingginya angka kekurangan gizi, khususnya anemia, pada perempuan.
- Penyakit Tidak Menular: Meningkatnya risiko perempuan terhadap penyakit kronis.
- Kesehatan Reproduksi: Masalah akses dan edukasi terkait kesehatan reproduksi.
- Kematian Ibu: Angka kematian ibu yang masih tinggi.
- Kekerasan: Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
- Praktik Sunat Perempuan: Kelanjutan praktik sunat perempuan yang merugikan kesehatan.
Program Cek Kesehatan Gratis yang digagas pemerintah, menurut dr. Maria, merupakan upaya preventif untuk menekan angka kematian, khususnya pada bayi dan perempuan. Peningkatan akses layanan kesehatan diharapkan mampu mempercepat pencapaian kesetaraan gender. Hal senada diungkapkan Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Veronica Tan, yang menyoroti kesenjangan gender meskipun populasi perempuan mencapai hampir 50% dari total penduduk. Beliau mengusulkan agar partisipasi perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) desa dijadikan standar, guna memastikan keterwakilan perempuan dalam perencanaan pembangunan.
"Mungkin kita bisa membuat aturan, jika partisipasi perempuan dalam Musrenbang desa tidak mencapai 50% atau 60%, maka keputusan Musrenbang tidak sah. Ini bisa menjadi cara untuk memaksa sistem agar partisipasi perempuan lebih dipertimbangkan," ujar Veronica Tan. Sementara itu, Hassa Mohtashami, UNFPA Indonesia Representative, menekankan pentingnya komitmen bersama dalam mewujudkan kesetaraan gender, mengingat pemberdayaan perempuan akan berdampak positif pada keluarga, komunitas, dan dunia secara keseluruhan. Hal ini juga didukung oleh Akiko Amakawa, Corporate Strategy Officer & CEO Chief of Staff, Takeda Pharmaceuticals, yang menyatakan komitmen perusahaan terhadap kesetaraan dan inklusi, serta akses kesehatan yang merata bagi semua orang.
Konferensi ini menyoroti betapa pentingnya komitmen multi-pihak, termasuk pemerintah, lembaga internasional, dan sektor swasta, untuk mengatasi kesenjangan kesehatan perempuan. Upaya kolaboratif dan kebijakan yang inklusif menjadi kunci untuk memastikan terpenuhinya hak dasar kesehatan perempuan dan terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia.