Shalat Tarawih: Dari Qiyam Ramadan di Masjid Nabawi hingga Tradisi Berjamaah

Shalat Tarawih: Dari Qiyam Ramadan di Masjid Nabawi hingga Tradisi Berjamaah

Shalat Tarawih, amalan sunnah yang menjadi ciri khas bulan Ramadan, memiliki sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri. Jauh sebelum dikenal dengan sebutan Tarawih, ibadah ini dikenal sebagai qiyam Ramadan pada masa Nabi Muhammad SAW. Berbeda dengan praktik yang umum di masa kini, pelaksanaan qiyam Ramadan di masa Rasulullah SAW menunjukkan pendekatan yang lebih personal dan menekankan aspek individual dalam ibadah. Berdasarkan berbagai literatur hadis, seperti yang termaktub dalam kitab Al Wajiz fi Fiqh As-Sunnah dan riwayat Bukhari-Muslim, Nabi SAW terkadang melaksanakan shalat ini di masjid, terkadang di rumah. Hal ini menggambarkan fleksibilitas dan kebebasan dalam beribadah yang ditekankan oleh ajaran Islam.

Salah satu riwayat dari Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, menggambarkan perkembangan pelaksanaan shalat ini di Masjid Nabawi. Pada awalnya, hanya beberapa orang yang bergabung dengan Nabi SAW. Namun, jumlah jamaah meningkat secara bertahap hingga masjid penuh sesak. Melihat hal ini, Nabi SAW memilih untuk tidak lagi melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Keputusan ini, yang dijelaskan dalam riwayat Bukhari dan Muslim, menunjukkan kehati-hatian Nabi SAW agar ibadah sunnah ini tidak disalahartikan sebagai kewajiban, serta perhatiannya pada kenyamanan dan kesejahteraan umat. Nabi SAW wafat sebelum praktik shalat Tarawih berjamaah di masjid menjadi hal yang lazim, yang menegaskan kembali sifat sunnah dari ibadah ini. Riwayat tersebut juga mencatat bahwa Nabi SAW sendiri, menurut keterangan Aisyah RA, tidak pernah melebihi 11 rakaat dalam shalat malamnya, terdiri dari empat rakaat, kemudian empat rakaat lagi, dan diakhiri dengan tiga rakaat witir.

Perubahan signifikan terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab RA. Seperti yang dicatat dalam kitab Qiyam Ramadhan karya Imam Al Marwazi dan Pesona Ibadah Nabi karya Ahmad Rofi Usmani, Umar bin Khattab RA menyaksikan berbagai kelompok kecil yang melaksanakan shalat sunnah di Masjid Nabawi selama Ramadan. Melihat kondisi tersebut, Umar bin Khattab RA berinisiatif untuk mengorganisir shalat sunnah tersebut menjadi shalat berjamaah dengan menunjuk Ubay bin Ka'ab sebagai imam. Inilah titik awal perubahan praktik qiyam Ramadan menjadi shalat Tarawih berjamaah seperti yang dikenal saat ini. Istilah “Tarawih”, yang berarti istirahat, menggambarkan selang-seling antara shalat dan istirahat yang dilakukan oleh jamaah. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, jumlah rakaat shalat Tarawih berjamaah yang diterapkan adalah 20 rakaat, ditambah 3 rakaat shalat witir, seperti tercatat dalam kitab Tharh at-Tatsrib karya Al Iraqi.

Kesimpulannya, shalat Tarawih telah mengalami evolusi dari ibadah personal qiyam Ramadan di masa Nabi Muhammad SAW menjadi praktik berjamaah yang lazim dilakukan di masa Khalifah Umar bin Khattab RA. Perubahan ini mencerminkan dinamika dalam penerapan ajaran Islam dan bagaimana praktik ibadah dapat beradaptasi dengan konteks sosial dan zaman tanpa mengabaikan esensi dan nilai-nilai inti dari ajaran tersebut. Sejarah ini juga menggarisbawahi pentingnya memahami konteks historis dan kearifan Nabi SAW dalam menjalankan ibadah, khususnya dalam membedakan antara ibadah wajib dan sunnah.