Polemik PHK di PT Yamaha Music Manufacturing Asia: Perusahaan Tegaskan Sesuai Prosedur, Buruh Tetap Berdemo
Polemik PHK di PT Yamaha Music Manufacturing Asia: Perusahaan Tegaskan Sesuai Prosedur, Buruh Tetap Berdemo
Sejak Senin, 10 Maret 2025, aksi demonstrasi menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap dua petinggi Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (SPEE) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) di PT Yamaha Music Manufacturing Asia (PT YMMA), Cibitung, Kabupaten Bekasi, terus berlanjut. Aksi ini dipicu oleh pemecatan Slamet Bambang Waluyo dan Wiwin Zain Miftach, yang masing-masing menjabat sebagai Ketua dan Sekretaris Pimpinan Unit Kerja (PUK) SPEE FSPMI. Pihak perusahaan dan perwakilan buruh memiliki pandangan yang berbeda terkait legalitas dan alasan di balik PHK tersebut, menciptakan ketegangan yang hingga kini belum menemukan titik temu.
Kuasa Hukum PT YMMA, La Ode Haris, dalam keterangannya kepada media menegaskan bahwa proses PHK terhadap Slamet dan Wiwin telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia serta Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah disepakati. Haris menekankan bahwa tindakan perusahaan bukan merupakan upaya union busting atau pemberangusan serikat pekerja. Ia menjelaskan bahwa PHK dilakukan karena adanya pelanggaran yang dianggap sebagai kesalahan berat oleh perusahaan, merujuk pada pasal dalam PKB. Lebih lanjut, Haris menyatakan bahwa dua unit bisnis Yamaha di Indonesia memang telah menghentikan operasionalnya, namun hal ini tidak mempengaruhi operasional PT YMMA. Ia juga menyoroti aksi demonstrasi yang dinilai berpotensi melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Ketertiban Umum, mengingat lokasi demonstrasi berada di kawasan industri yang merupakan objek vital nasional. Terlepas dari itu semua, Haris menyatakan bahwa pintu dialog tetap terbuka baik melalui perundingan bipartit maupun tripartit untuk mencapai solusi yang adil dan sesuai hukum.
Di sisi lain, Aliansi Buruh Bekasi Melawan, yang menjadi koordinator aksi demonstrasi, menyatakan bahwa aksi akan berlanjut hingga tuntutan mereka dipenuhi, yaitu pencabutan keputusan PHK terhadap Slamet dan Wiwin. Koordinator Aliansi Buruh Bekasi Melawan, Sarino, mempertanyakan legalitas PHK tersebut. Ia berargumen bahwa alasan PHK yang disampaikan perusahaan, yakni adanya ‘kesalahan berat’ yang dilakukan Slamet dan Wiwin sehubungan dengan kerumunan massa di depan gerbang pabrik pada 4 Oktober 2025, tidak sah karena Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi dasar klaim perusahaan, telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sarino menegaskan bahwa PHK tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang perusahaan terhadap petinggi serikat pekerja dan mendesak agar keputusan PHK segera dicabut.
Perbedaan pandangan antara pihak perusahaan dan buruh mengenai legalitas PHK serta langkah-langkah selanjutnya menjadi titik krusial dalam polemik ini. Aksi demonstrasi yang terus berlanjut menandakan belum tercapainya kesepakatan dan solusi damai. Perkembangan selanjutnya akan sangat bergantung pada hasil perundingan dan upaya mediasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan permasalahan ini secara adil dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku di Indonesia. Peran pemerintah dan instansi terkait dalam menjembatani perbedaan pandangan antara pihak perusahaan dan buruh menjadi sangat penting untuk mencegah eskalasi konflik yang lebih luas.