Jalan Rusak Berbuah Pisang: Protes Warga Kuba dan Indonesia atas Infrastruktur yang Terabaikan

Jalan Rusak Berbuah Pisang: Simbol Kekecewaan dan Kreativitas Warga

Di dua belahan dunia yang berbeda, Kuba dan Indonesia, jalan rusak menjadi panggung bagi sebuah fenomena unik dan sekaligus menyayat hati: pertumbuhan pohon pisang di lubang-lubang jalan yang tak kunjung diperbaiki. Fenomena ini bukan sekadar kejadian alamiah, melainkan cerminan kekecewaan warga terhadap infrastruktur yang terabaikan dan kreativitas mereka dalam menyikapi permasalahan tersebut.

Di Havana, Kuba, sebuah pohon pisang tumbuh subur di sebuah lubang jalan di El Cerro. Bukan ditanam sengaja, pohon ini muncul secara alami tiga tahun lalu, setelah perbaikan pipa bocor meninggalkan lubang menganga tanpa perbaikan lanjutan. Carmen Rosa Guzman, warga sekitar, menceritakan bahwa hujan kemungkinan besar membawa biji pisang yang kemudian tumbuh subur di tempat tersebut. Ketiadaan perbaikan jalan justru berbuah manis—secara harfiah—bagi warga yang memanfaatkan buah pisang tersebut sebagai sumber makanan di tengah tingginya harga pangan. Kejadian ini menggambarkan ironi situasi; kerusakan infrastruktur bertransformasi menjadi sumber pangan alternatif, meskipun tetap menyoroti permasalahan utama infrastruktur yang buruk. Kondisi ini menjadi bukti nyata betapa minimnya perhatian pemerintah terhadap kondisi jalan di wilayah tersebut.

Sementara itu, di Dusun Yudomulyo, Desa Ringintelu, Banyuwangi, Indonesia, protes terhadap jalan rusak sepanjang 10 kilometer dilakukan dengan cara yang unik dan mencolok: menanam pohon pisang di setiap lubang jalan. Aksi yang dilakukan selama satu pekan terakhir ini bukan sekadar simbolis, melainkan juga bentuk tekanan nyata kepada pemerintah daerah. Bukan hanya satu batang, bahkan dua hingga tiga batang pohon pisang ditanam dalam satu lubang, menjadikan jalan tersebut tampak seperti kebun pisang raksasa. Akbar, seorang pengguna jalan, mengungkapkan bahwa jalan tersebut telah rusak selama lima tahun, menyebabkan kecelakaan berulang akibat lubang-lubang besar yang membahayakan. Sumarmi, warga Desa Ringintelu, mendukung aksi tersebut, dengan alasan penanaman pohon pisang dapat berfungsi sebagai penanda keberadaan lubang jalan yang membahayakan. Aksi ini menunjukkan keputusasaan warga setelah bertahun-tahun keluhan mereka tak mendapat tanggapan.

Kedua kasus ini memiliki kesamaan: jalan rusak yang dibiarkan bertahun-tahun, dan kreativitas warga dalam menyikapi permasalahan tersebut. Di Kuba, warga terpaksa memanfaatkan situasi yang ada, sementara di Indonesia, warga melakukan aksi protes yang unik dan mudah dipahami oleh publik. Baik di Kuba maupun Indonesia, permasalahan ini mengungkap betapa pentingnya perbaikan infrastruktur yang responsif dan berkelanjutan, serta bagaimana kekecewaan warga dapat terwujud dalam berbagai bentuk ekspresi, dari pasrah hingga perlawanan.

Kesimpulan: Pertumbuhan pohon pisang di jalan rusak di Kuba dan Indonesia menjadi metafora yang kuat tentang kegagalan pemerintah dalam menjaga infrastruktur, serta daya tahan dan kreativitas warga dalam menghadapi permasalahan tersebut. Peristiwa ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan dan memprioritaskan perbaikan infrastruktur guna mencegah terjadinya insiden serupa dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.