Kebijakan Tata Ruang dan Izin Pembangunan Diduga Memperparah Bencana Alam di Jawa Barat

Kebijakan Tata Ruang dan Izin Pembangunan Diduga Memperparah Bencana Alam di Jawa Barat

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, secara tegas menyatakan bahwa kebijakan perizinan pembangunan dan tata ruang yang kurang terencana turut berperan signifikan dalam meningkatnya angka bencana alam di wilayahnya. Pernyataan tersebut disampaikan Dedi saat menjelaskan kerjasama Pemprov Jawa Barat dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk pengadaan radar anti-bencana di Gedung BMKG, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (12/3/2025). Ia menekankan bahwa berbagai faktor saling berkaitan dan berkontribusi terhadap peningkatan risiko bencana. Bukan hanya izin pembangunan yang sembarangan, tetapi juga sejumlah kebijakan lain yang turut andil dalam meningkatkan kerentanan lingkungan terhadap bencana.

Dedi Mulyadi menjabarkan sejumlah faktor yang memperparah dampak bencana. Salah satu yang paling krusial adalah hilangnya tutupan lahan hijau akibat deforestasi. Ia menjelaskan bahwa berkurangnya area pepohonan menyebabkan peningkatan risiko banjir dan tanah longsor, bahkan dengan intensitas hujan yang relatif rendah. Contohnya, ia menunjuk fenomena longsor di Sukabumi yang dipicu oleh penggundulan hutan endemik untuk kepentingan pertanian dan pertambangan. "Kenapa intensitas hujan hanya 20-30 mm saja sudah menyebabkan longsor dan banjir? Karena pohon-pohonnya sudah hilang," tegas Dedi.

Lebih lanjut, Dedi juga mengkritik pembangunan pemukiman di bantaran sungai yang menyebabkan penyempitan aliran sungai. Kondisi ini diperparah dengan kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan ke sungai. Ia menyebut permasalahan ini sebagai contoh nyata bagaimana berbagai faktor, dari kebijakan tata ruang hingga perilaku masyarakat, saling berinteraksi dan berkontribusi terhadap peningkatan risiko bencana. "Seluruh tingkatan pembangunan dan tradisi masyarakat saling menyumbang bencana. Jembatan yang dibangun tidak sesuai standar, perusakan hutan, alih fungsi lahan, semuanya menjadi penyebab," ungkapnya.

Untuk mengatasi masalah ini, Dedi Mulyadi menyerukan 'taubat ekologi' sebagai solusi bersama. Pemprov Jabar sendiri telah memulai langkah konkret dengan melakukan penanaman kembali pohon di Puncak, Bogor, dan bekerja sama dengan BMKG untuk meningkatkan kemampuan deteksi dini bencana. Ia menekankan pentingnya kolaborasi dan perubahan perilaku untuk menekan angka bencana di masa mendatang. "Ini adalah kesalahan kita semua. Kita harus melakukan taubat ekologi, dan saya memulainya dengan menggandeng BMKG," pungkas Dedi.

Berikut beberapa poin penting yang menjadi sorotan Dedi Mulyadi terkait kontribusi kebijakan terhadap bencana alam:

  • Izin pembangunan yang tidak terencana: Pemberian izin pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan mitigasi bencana.
  • Hilangnya tutupan lahan hijau: Deforestasi menyebabkan peningkatan risiko banjir dan tanah longsor.
  • Pembangunan di bantaran sungai: Penyempitan aliran sungai meningkatkan risiko banjir.
  • Pembuangan sampah sembarangan: Perilaku masyarakat yang memperparah dampak bencana.
  • Alih fungsi lahan: Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol meningkatkan kerentanan terhadap bencana.
  • Perusakan hutan: Aktivitas perusakan hutan yang menyebabkan hilangnya ekosistem penyangga kehidupan.

Kerjasama dengan BMKG diharapkan dapat meningkatkan kapasitas Jawa Barat dalam melakukan prediksi dan mitigasi bencana alam di masa depan. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam di masa yang akan datang.