Integrasi Energi Terbarukan dalam Tata Ruang: Kunci Percepatan Transisi Energi Nasional
Integrasi Energi Terbarukan dalam Tata Ruang: Kunci Percepatan Transisi Energi Nasional
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, mencapai 333 gigawatt (GW), sesuai riset terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR). Potensi ini tersebar di seluruh Nusantara dan terdiri dari:
- Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS): 165,9 GW
- Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB): 167,0 GW
- Pembangkit Listrik Tenaga Mini dan Mikrohidro (PLTM): 0,7 GW
Studi IESR, berjudul Unlocking Indonesia’s Renewables Future: The Economic Case of 333 GW of Solar, Wind, and Hydro Projects, menunjukkan bahwa potensi ini layak secara finansial, dengan sekitar 61 persen (206 GW) memiliki tingkat pengembalian investasi (EIRR) di atas 10 persen. Angka ini bahkan melampaui target Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) sebesar 180 GW PLTS dan PLTB hingga 2060. Keberhasilan pengembangan ini sangat bergantung pada integrasi yang efektif dalam perencanaan tata ruang wilayah.
Namun, realisasi potensi energi terbarukan ini menghadapi tantangan signifikan. Salah satu kendala utama adalah kurangnya integrasi perencanaan penggunaan lahan untuk energi terbarukan dalam dokumen Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) daerah. Koordinator Riset Sosial, Kebijakan dan Ekonomi IESR, Martha Jesica Mendrofa, menekankan perlunya klasifikasi penggunaan lahan yang eksplisit untuk energi terbarukan dalam RTRW. Ketiadaan klasifikasi ini menyebabkan proses perizinan dan pengadaan lahan menjadi rumit, melibatkan banyak pihak, dan memperlambat pengembangan proyek.
Dengan mengintegrasikan rencana pengembangan energi terbarukan ke dalam RTRW, proses pengadaan lahan akan jauh lebih efisien dan terarah. Hal ini akan mempermudah perizinan proyek-proyek besar, mempercepat pembangunan infrastruktur, dan memastikan kepastian hukum bagi investor. Lebih lanjut, integrasi ini akan memungkinkan penggabungan proyek-proyek yang berdekatan, mengurangi kompleksitas administrasi dan biaya. Saat ini, kebanyakan RTRW belum mengakomodasi hal ini secara spesifik, sehingga diperlukan revisi dan penyempurnaan dokumen perencanaan wilayah tersebut.
Studi IESR juga mengidentifikasi enam wilayah unggulan untuk pengembangan energi terbarukan:
- PLTS: Papua dan Kalimantan memiliki konsentrasi tertinggi.
- PLTB: Maluku, Papua, dan Sulawesi Selatan memiliki potensi optimal.
- PLTM: Sumatera Barat dan Sumatera Utara memiliki potensi terbesar.
Martha Jesica Mendrofa menambahkan, jika pengembangan energi terbarukan tidak diakomodasi dalam RTRW, maka diskusi dan proses perizinan akan membutuhkan koordinasi yang kompleks dan memakan waktu. Kejelasan penggunaan lahan dalam RTRW akan menjadi acuan utama dalam menentukan kelayakan pembangunan proyek energi terbarukan di suatu wilayah, mencegah tumpang tindih dan konflik kepentingan.
Kesimpulannya, integrasi perencanaan energi terbarukan dalam RTRW merupakan langkah krusial untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Dengan perencanaan yang terintegrasi dan terukur, potensi energi terbarukan yang melimpah dapat direalisasikan secara optimal, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan.
Potensi proyek energi terbarukan yang layak secara finansial diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan perbaikan regulasi, infrastruktur, dan penurunan biaya modal. Hal ini menuntut komitmen kuat dari pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mewujudkan integrasi tersebut dalam rangka mencapai target energi terbarukan nasional.