Gelombang PHK Massal Guncang Industri Manufaktur Indonesia: Lebih dari 10.000 Pekerja Terdampak
Gelombang PHK Massal Guncang Industri Manufaktur Indonesia: Lebih dari 10.000 Pekerja Terdampak
Awal tahun 2025 menjadi periode yang suram bagi sektor manufaktur Indonesia. Ribuan pekerja kini menghadapi kenyataan pahit kehilangan pekerjaan akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melanda berbagai perusahaan, dengan jumlah pekerja yang terdampak diperkirakan melebihi 10.000 orang. Penutupan pabrik, relokasi produksi ke negara lain dengan biaya operasional lebih rendah, dan penurunan permintaan pasar menjadi faktor utama yang mendorong fenomena ini. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi Indonesia.
Beberapa perusahaan besar dan menengah turut terdampak, menimbulkan guncangan di berbagai sektor industri. Berikut rincian perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam PHK massal ini:
- PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Group: Kepailitan Sritex Group pada Oktober 2024 berujung pada PHK massal hingga 11.025 karyawan. Proses PHK berlangsung bertahap, dimulai sejak Agustus 2024 hingga Februari 2025. Rincian PHK di masing-masing anak perusahaan Sritex Group adalah sebagai berikut:
- Agustus 2024: 340 pekerja PT Sinar Pantja Djaja (Semarang) terkena PHK sebelum perusahaan dinyatakan pailit.
- Januari 2025: 1.081 pekerja PT Bitratex Industries mengajukan PHK sukarela.
- 26 Februari 2025: Gelombang PHK terbesar dengan total 9.604 pekerja terdampak: 8.504 orang dari PT Sritex, 956 orang dari PT Primayuda Mandirijaya, 40 orang dari PT Sinar Pantja Djaja, dan 104 orang dari PT Bitratex Industries. Sritex Group resmi ditutup pada 1 Maret 2025. Pemerintah dan kurator saat ini fokus pada pemenuhan hak-hak pekerja, termasuk upah, pesangon, THR, JHT, JKP, dan JKN.
- PT Sanken Indonesia: Penutupan pabrik di Bekasi mengakibatkan PHK terhadap 459 pekerja. Perusahaan asal Jepang ini akan menghentikan produksi sepenuhnya pada Juni 2025, dengan kapasitas produksi saat ini hanya 10% untuk memenuhi permintaan domestik. Minimnya dukungan teknologi dari induk perusahaan dan ketidakmampuan bersaing menjadi penyebab utama penutupan.
- Yamaha Music Indonesia: Rencana penutupan dua pabrik di Cikarang (Maret 2025) dan Pulo Gadung (Mei/Juni 2025) mengancam 1.100 karyawan akibat relokasi produksi ke China dan Jepang.
- KFC Indonesia: PHK sejumlah karyawan di berbagai gerai sebagai langkah efisiensi operasional.
- PT Tokai Kagu Indonesia: Penutupan operasi dan PHK lebih dari 100 pekerja di perusahaan furnitur ini.
- PT Danbi International: Kepailitan perusahaan manufaktur bulu mata palsu ini pada 10 Februari 2025 berdampak pada 2.079 buruh yang menunggu kepastian pembayaran hak-hak mereka.
- PT Bapintri (Mbangun Praja Industri): PHK terhadap 267 buruh di pabrik tekstil ini disebabkan oleh tekanan finansial.
- PT Adis Dimension Footwear: Penurunan permintaan menyebabkan PHK terhadap 1.500 karyawan.
- PT Victory Ching Luh: Proses PHK terhadap 2.000 karyawan sedang berlangsung berdasarkan data Disnakertrans Provinsi Banten.
Dampak dan Respons Pemerintah:
Gelombang PHK ini menunjukkan tekanan besar pada industri manufaktur Indonesia, dipicu oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Relokasi produksi ke negara lain menjadi tren yang mengkhawatirkan, mengancam stabilitas ekonomi dan kesejahteraan pekerja. Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, mengimbau perusahaan untuk memastikan PHK dilakukan sesuai regulasi dan kesepakatan bersama. Namun, bagi ribuan pekerja yang terkena dampak, tantangan untuk mencari mata pencaharian baru menjadi beban yang berat.
Situasi ini membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mencari solusi jangka panjang yang dapat melindungi pekerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di sektor manufaktur.