Ancaman Agresi Israel: Ujian Ketahanan Iran di Tengah Pusaran Geopolitik
Gelombang ketegangan kembali mencengkeram Timur Tengah, dengan Iran menjadi fokus utama. Agresi yang dilancarkan Israel tidak bisa dipandang sebagai insiden terisolasi, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk melemahkan negara tersebut. Serangan ini, yang oleh Israel disebut sebagai "Operation Rising Lion," mengundang pertanyaan mengenai makna simbolisme di baliknya.
Simbol singa memiliki akar yang dalam dalam sejarah Yahudi, khususnya "Lion of Judah" yang melambangkan kekuatan. Namun, Iran juga memiliki simbol singa dalam sejarahnya, yaitu emblem "Lion and Sun" yang menghiasi bendera Iran sebelum revolusi 1979. Mengingat hal ini, agresi Israel yang didukung oleh Amerika Serikat mengindikasikan niat untuk mengembalikan Iran ke era monarki, sebuah gagasan yang digaungkan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Upaya Historis untuk Melemahkan Iran
Masa Dinasti Pahlavi merupakan era yang dianggap menguntungkan bagi kekuatan Barat. Setelah penggulingan Perdana Menteri Mohammed Mosaddeq pada tahun 1953 oleh CIA dan MI-6, Barat leluasa mengeksploitasi sumber daya minyak Iran melalui konsesi dengan British Petroleum dan NIOC. Revolusi Iran 1979 merupakan pukulan telak bagi skenario yang dirancang oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
Amerika Serikat dan sekutunya segera bertindak setelah revolusi. Mereka memanfaatkan Saddam Hussein, yang saat itu masih memiliki hubungan baik dengan AS, untuk melancarkan Perang Iran-Irak yang berlangsung selama 8 tahun (1980-1988). Iran berhasil bertahan, sementara hubungan Saddam dengan Barat memburuk setelah invasi Kuwait pada tahun 1990.
Agresi Israel saat ini harus dilihat sebagai kelanjutan dari upaya bertahap untuk melemahkan Iran pasca-Perang Iran-Irak. Strategi yang digunakan adalah melumpuhkan negara-negara tetangga Iran terlebih dahulu. Kuwait membutuhkan perlindungan Amerika, Afghanistan diserang setelah peristiwa 9/11, dan Irak dijatuhkan dengan tuduhan memiliki senjata pemusnah massal. Negara tetangga lain seperti Pakistan, Turkmenistan, Azerbaijan, Turki, dan Armenia memiliki dinamika hubungan yang berbeda dengan Iran.
Amerika Serikat kini memanfaatkan Israel untuk menggoyang Iran. Keyakinan Presiden AS Donald Trump terhadap posisi pemimpin tertinggi Iran mengindikasikan bahwa penetrasi intelijen Mossad dan CIA telah mencapai tingkat yang signifikan di dalam lingkaran kekuasaan Iran.
Prediksi Langkah Israel-AS
Tantangan utama bagi Amerika Serikat dan sekutunya bukan hanya menyingkirkan pemimpin Iran, tetapi juga menentukan siapa yang akan menggantikannya. Rumus yang digunakan dalam mengganggu pemerintahan berdaulat masih sama sejak era Perang Dingin, yaitu menggandeng kelompok oposisi, militer, partai politik saingan penguasa, atau tokoh karismatik baru untuk dijadikan pengganti.
Salah satu opsi yang dipertimbangkan oleh Amerika Serikat dan Israel adalah menjadikan Pangeran Mahkota Reza Pahlavi, yang hidup dalam pengasingan, sebagai pemimpin baru di Iran. Hal ini sejalan dengan nama operasi "Rising Lion," yang mengisyaratkan kembalinya simbol singa ke bendera Iran.
Perbedaan mendasar antara Iran dan negara-negara seperti Libya, Irak, dan Afghanistan adalah bahwa menggulingkan pemerintahan Iran akan mengubah sistem pemerintahan dari republik teokrasi menjadi monarki. Perubahan sistem pemerintahan tentu lebih rumit daripada sekadar mengganti pemimpin.
Selain itu, propaganda besar-besaran akan disebarkan ke seluruh dunia untuk meyakinkan bahwa rakyat Iran hidup dalam tekanan rezim. Namun, muncul pertanyaan apakah rakyat Iran benar-benar kecewa dengan pemerintahan saat ini. Tragedi tewasnya Mahsa Amini pada tahun 2022 memicu gelombang unjuk rasa anti-pemerintah yang menewaskan ratusan orang, tetapi apakah ini cukup untuk dijadikan kartu yang dimainkan oleh AS?
Momen ini menjadi ujian persatuan bangsa Iran. Elite politik akan digoda untuk membelot, dan rakyat akan dihasut untuk menentang pemerintah.
Potensi Eskalasi dan Dampak ke Indonesia
Perang Iran-Israel berpotensi meningkat eskalasinya jika Amerika Serikat terlibat langsung. Namun, Rusia dan China telah memperingatkan agar AS tidak terlibat langsung. Jika Amerika Serikat ikut berperang langsung dengan Iran, stabilitas kawasan Timur Tengah akan runtuh.
Dampak langsung ke Indonesia saat ini adalah munculnya perdebatan di media sosial. Upaya untuk membentuk, memecah, dan memenangkan opini publik terkait Israel di Indonesia semakin meningkat. Isu Israel selama ini hampir eksklusif menjadi isu kelompok muslim di Indonesia. Kepedulian terhadap Palestina, Iran, dan korban Israel lainnya perlu dibawa dengan narasi kemanusiaan lintas kelompok.
Proyeksi Akhir
Sulit untuk mempercayai bahwa perang Iran-Israel hanya soal potensi senjata nuklir. Alasan yang lebih masuk akal adalah keinginan untuk menguasai sumber daya migas Iran, seperti yang pernah dilakukan Barat sebelum Revolusi Iran.
Jika Iran takluk, Amerika Serikat dan Israel akan mengamankan jalur minyak dan pipa gas strategis di Iran dari Laut Kaspia hingga Teluk Persia. Iran berada di tengah jalur migas Eropa, Asia, dan Timur Tengah. Iran adalah kunci!
Ian Bremmer, seorang pakar politik Amerika, memprediksi bahwa pemerintahan Iran akan jatuh, tetapi negaranya tidak akan bubar. Hanya pucuk kepemimpinan yang akan diganti. Apakah prediksi Bremmer akan menjadi kenyataan?
Hasil akhir akan bergantung pada rakyat Iran. Ketika negara mereka mendapatkan ancaman dari luar, apakah mereka bisa bersatu di masa yang genting ini? Korban jiwa akan berjatuhan, tetapi mereka tidak boleh gentar. Atau, apakah Iran akan menyerah dan larut dalam pergantian kekuasaan yang disetir oleh Barat?
Iran adalah pewaris bangsa Persia yang telah bertahan dari ujian zaman selama ribuan tahun. Dari Cyrus Agung hingga Iskandar Zulkarnain, dari masa Kekhalifahan Islam hingga era Raja Nader Shah, dari Shah Iran Mohammad Reza Pahlavi hingga Ayatullah Khomeini, dari Perang Iran-Irak hingga agresi Israel saat ini. Bertahanlah Iran!