Bolivia Hadapi Krisis Utang: Presiden Arce Ungkap Kekhawatiran Gagal Bayar

Kondisi ekonomi Bolivia saat ini berada dalam sorotan tajam, dengan meningkatnya kekhawatiran akan potensi gagal bayar utang luar negeri yang signifikan. Presiden Luis Arce Catacora secara terbuka mengungkapkan keprihatinannya atas situasi ini, menyatakan bahwa negara tersebut membutuhkan sumber pendanaan baru untuk menghindari skenario terburuk.

Nilai utang Bolivia saat ini mencapai US$ 13,3 miliar, atau sekitar Rp 218,07 triliun. Sebagian besar pinjaman ini berasal dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Pembangunan Inter-Amerika, Bank Pembangunan Amerika Latin dan Karibia (CAF), Bank Dunia, dan China. Jumlah utang ini setara dengan lebih dari 37% pendapatan nasional bruto Bolivia. Terakhir kali Bolivia mengalami gagal bayar adalah pada tahun 1984, lebih dari empat dekade lalu.

Presiden Arce menyoroti kesulitan pemerintah dalam memperoleh persetujuan parlemen untuk pinjaman baru sebesar US$ 1,8 miliar dari lembaga multilateral. Dana ini sangat dibutuhkan untuk menutupi defisit anggaran dan memenuhi kewajiban pembayaran utang yang jatuh tempo. Selain itu, Bolivia diperkirakan membutuhkan sekitar US$ 2,6 miliar pada Desember mendatang untuk mengimpor bahan bakar dan membayar utang luar negeri.

"Kita membuat kesepakatan terburuk sebagai sebuah negara. Karena saat negara memiliki utang luar negeri, Anda membayar pokok dan bunga kepada kreditor, dan arus keluar dolar itu dikompensasi oleh arus masuk pencairan baru dari utang baru, yang tidak terjadi," kata Arce.

Krisis ekonomi yang melanda Bolivia memiliki akar yang lebih dalam. Pada tahun 2023, perusahaan minyak dan gas negara, YPFB, mengumumkan bahwa Bolivia mengalami kekurangan gas alam akibat kurangnya investasi dalam eksplorasi baru. Padahal, gas alam merupakan komoditas ekspor utama negara tersebut. Penurunan ekspor gas alam menyebabkan cadangan devisa Bolivia merosot tajam, sehingga negara tersebut kesulitan mengimpor bahan bakar yang disubsidi untuk pasar domestik.

Akibatnya, inflasi di Bolivia terus meningkat, mencapai puncaknya pada bulan Mei dengan angka 18,4% secara year-on-year. Tingkat inflasi ini merupakan yang tertinggi dalam dua dekade terakhir, yang menyebabkan mata uang lokal, Boliviano, terus kehilangan nilainya. Bolivia, negara dengan populasi sekitar 12 juta jiwa yang sebagian besar merupakan penduduk asli, merupakan salah satu negara termiskin di Amerika Selatan meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti gas dan litium.

Berikut poin-poin penting yang menjadi perhatian:

  • Utang Luar Negeri: Bolivia terbebani utang luar negeri sebesar US$ 13,3 miliar.
  • Sumber Pendanaan: Kesulitan mendapatkan sumber pendanaan baru memperburuk situasi.
  • Krisis Gas Alam: Penurunan ekspor gas alam menyebabkan cadangan devisa menipis.
  • Inflasi: Inflasi mencapai angka tertinggi dalam dua dekade terakhir.
  • Ketergantungan Impor Bahan Bakar: Negara bergantung pada impor bahan bakar yang disubsidi.

Situasi ekonomi Bolivia yang genting memerlukan tindakan cepat dan terkoordinasi untuk menghindari krisis yang lebih dalam. Pemerintah perlu mencari solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah struktural yang mendasari krisis ini, termasuk diversifikasi ekonomi, investasi dalam eksplorasi sumber daya alam, dan pengelolaan utang yang berkelanjutan.