Diversifikasi Pasar Ekspor Batubara Indonesia di Tengah Perlambatan Ekonomi China dan India
Indonesia Mengincar Pasar Baru Batubara di Asia Tenggara dan Selatan
Penurunan permintaan batubara dari dua negara importir raksasa, China dan India, mendorong Indonesia untuk mencari alternatif pasar ekspor. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama para pelaku industri batubara nasional kini tengah menjajaki peluang di negara-negara berkembang di kawasan Asia Tenggara dan Selatan.
Surya Herjuna, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM, mengungkapkan bahwa beberapa negara telah diidentifikasi sebagai target pasar potensial. Negara-negara tersebut termasuk Brunei Darussalam, Vietnam, Filipina, Korea Selatan, Pakistan, dan Bangladesh. Total potensi permintaan dari negara-negara ini diperkirakan mencapai angka yang signifikan, yaitu 108 juta ton.
"Terjadi peningkatan ekspor batubara ke negara-negara di luar China dan India. Pada periode Januari hingga Maret 2025, volume ekspor mencapai 16 juta ton, meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang berkisar antara 14 hingga 15 juta ton. Selain itu, ekspor ke wilayah ASEAN juga mengalami pertumbuhan sebesar 15 persen dibandingkan tahun 2024," jelas Surya.
Penurunan impor batubara oleh China dan India menjadi perhatian utama. Data dari Reuters menunjukkan bahwa impor batubara termal China diperkirakan akan mengalami penurunan antara 50 juta hingga 100 juta ton dari angka 421 juta ton pada tahun 2024. Sementara itu, India juga mengambil langkah untuk menahan impor seiring dengan peningkatan produksi dalam negeri dan surplus stok batubara.
Tantangan dan Peluang di Pasar Non-Tradisional
Pelaksana tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani, menyoroti pentingnya kawasan ASEAN sebagai pasar yang menjanjikan setelah China dan India. Namun, ia juga menekankan bahwa pelaku usaha harus siap menghadapi persaingan ketat dari negara-negara eksportir batubara lainnya, seperti Rusia dan Kolombia, yang memiliki keunggulan geografis.
"Kebutuhan energi di wilayah ASEAN masih sangat tinggi, sehingga menjadi peluang yang baik bagi industri batubara Indonesia," ujar Gita.
Gita menambahkan bahwa fokus utama perusahaan saat ini adalah mempertahankan kontrak jangka panjang. Peluang di pasar spot semakin terbatas, sehingga efisiensi operasional menjadi kunci utama untuk menjaga daya saing dan keberlangsungan bisnis.
Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), menyampaikan pandangan serupa. Menurutnya, negara-negara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Bangladesh, dan Pakistan dapat menjadi alternatif pasar pengganti. Namun, volume permintaan dari negara-negara tersebut belum sebanding dengan volume yang sebelumnya diimpor oleh China dan India.
"Adanya ketidaksesuaian antara volume pasokan dari Indonesia dan permintaan dari negara-negara baru menjadi tantangan tersendiri yang perlu diatasi," kata Hendra.
Tekanan terhadap Industri Batubara Nasional
Data dari Kementerian ESDM mencatat penurunan volume ekspor batubara Indonesia pada periode Januari hingga April 2025, yaitu sebesar 160 juta ton, dibandingkan dengan 171 juta ton pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini mencerminkan tekanan yang dihadapi oleh industri batubara.
Hendra juga menyoroti beban tambahan yang dihadapi oleh pelaku usaha, seperti implementasi kebijakan B40, kenaikan tarif royalti, dan kewajiban penempatan devisa hasil ekspor (DHE).
"Tekanan biaya ini semakin mempersempit margin keuntungan perusahaan, terutama mengingat harga batubara global saat ini berada pada titik terendah dalam beberapa tahun terakhir," jelasnya.